BUMN Butuh Regulasi Pendukung dari Pemerintah
Berita

BUMN Butuh Regulasi Pendukung dari Pemerintah

Agar bisa mendapatkan pembiayaan komersial dengan garansi dari pemerintah.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Achsanul Qosasih. Foto: SGP.
Achsanul Qosasih. Foto: SGP.
Untuk mendukung program prioritas pemerintah, perlu sebuah regulasi sebagai pondasinya. Direktur Indef Enny Sri Hartati mengatakan, regulasi tersebut bertujuan agar perusahaan BUMN bisa menjadi pelopor dalam melaksanakan program pemerintah seperti pembangunan infrastruktur, mendorong UMKM dan keuangan yang inklusif.

Menurutnya, jika menggunakan kredit non komersial yang melalui pemerintah, tidak akan berjalan efektif. "Karena ketika (program prioritas pemerintah, red) masuk APBN, akan tersandera anggaran mandatory, misal 20 persen pendidikan," kata Enny dalam sebuah seminar di Jakarta, Selasa (13/1).

Regulasi tersebut, lanjut Enny, bertujuan agar BUMN bisa mendapatkan pembiayaan komersial namun terdapat garansi dari pemerintah. Hal ini dilakukan lantaran likuiditas pembiayaan dari dalam negeri masih rendah. Sehingga, untuk memperoleh pembiayaan komersial hanya melalui luar negeri.

"Jadi harus ada terobosan agar pemerintah bisa garansi tapi tidak jadi utang pemerintah tapi masuk ke utang BUMN," katanya.

Ia yakin jika regulasi ini ada maka program prioritas pemerintah dapat terlaksana dengan baik serta menjadi keuntungan bagi perusahaan BUMN maupun pemerintah. "Kalau ini dilakukan, Rp4000 triliun itu (aset BUMN) minimal 50 persennya balik ke kita," kata Enny.

Direktur Utama Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin mengatakan, likuiditas di perbankan dalam negeri masih rendah. Soalnya, mayoritas orang-orang kaya di Indonesia masih menyimpan uangnya di luar negeri. Hal ini terlihat dari sedikitnya selisih dana yang ada antara total aset perbankan dengan dana kredit yang telah dikucurkan.

Total dana perbankan di Indonesia mencapai Rp3900 trilliun, sedangkan total kredit perbankan Rp3600 triliun. Jadi, selisih dananya hanya sekitar Rp300 triliun. Maka itu, agak sulit dana perbankan diperuntukkan mendukung program prioritas pemerintah. "Kalau pinjam dar bank, duitnya dari mana," kata Budi.

Sebaliknya, lanjut Budi, jika dana untuk mendukung program prioritas pemerintah melalui APBN, dirasa tak akan cukup. Karena dari APBN, hanya sekitar Rp200 triliun dana yang bisa dikucurkan, padahal kebutuhan untuk membangun infrastruktur saja mencapai Rp1000 triliun. "Sebaiknya jangan berharap dari pemerintah karena uangnya tak akan cukup," katanya.

Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Achsanul Qosasih, menambahkan salah satu jalan keluarnya adalah menjadikan bank BUMN sebagai agen pembangunan. Menurutnya, aset perbankan BUMN yang mencapai Rp1900 triliun menjadi primadona tersendiri dalam melaksanakan program prioritas pemerintah tersebut.

Menurutnya, jika pembangunan infrastruktur dilakukan melalui APBN, maka potensi realisasi akan terlambat bisa terjadi. Hal ini dilihatnya saat dirinya masih menjadi anggota DPR. "Pembangunan infrastruktur dalam APBN tidak sampai 15 persen. Saya masih di Parlemen paling tinggi 10 persen. Itupun realisasinya terlambat. Ini harus disikapi BPK sebagai bagian komitmen pembangunan nasional," katanya.

BPK sendiri, Achsanul mengatakan, akan fokus pada audit kinerja perusahaan BUMN. Hal ini dilakukan lantaran apapun ekspansi BUMN harus dikaitkan dengan kepentingan masyarakat. "Misal bagaimana KUR, efektif tidak, investasi perbankan dalam pengendalian barang, efektif tidak. Sebesar apapun ekspansi BUMN harus dikaitkan untuk kepentingan masyarakat," katanya.

Sejalan dengan itu, lanjut Achsanul, sinergi antar perusahaan BUMN harus kuat. Menurutnya, sinergi ini penting sebagai landasan perusahaan BUMN dalam menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN (MEA). Ia mencontohkan, surat-surat yang dikirim bank BUMN kepada nasabahnya, harus melalui PT Pos, bukan melalui perusahaan jasa pengiriman swasta.

Ia tak menampik, banyak aturan yang menjadi pegangan perusahaan BUMN. Bahkan, bila dibandingkan dengan perusahaan swasta, aturan BUMN lebih banyak. Achsanul melihat, setidaknya terdapat sembilan UU yang berkaitan dengan perusahaan BUMN. Sedangkan perusahaan swasta sendiri hanya ada tiga UU.

Meski begitu, Achsanul menegaskan, hal tersebut jangan menjadi momok menakutkan bagi perusahaan BUMN dalam berekspansi. "Ada sembilan UU yang harus dipatuhi BUMN. Sementara swasta hanya tiga, sehingga swasta lebih fleksibel. Kami ingin berperan agar mudah lakukan kegiatannya agar tidak terbebani dengan hal-hal yang tidak mereka kuasai. Saya ingin ubah mindset bahwa pemeriksaan bukan hal yang menakutkan," pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait