Cost Recovery Migas Diusulkan Diganti Royalti dan Pajak
Berita

Cost Recovery Migas Diusulkan Diganti Royalti dan Pajak

Menjadi masukan dari pemerintah kepada DPR yang sudah lama berinisiatif untuk merevisi UU Migas.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Tim Reformasi Tata Kelola Migas. Foto: www.esdm.go.id
Tim Reformasi Tata Kelola Migas. Foto: www.esdm.go.id
Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi (Migas) tengah melakukan kajian atas cost recovery. Dalam kajian itu mencuat usulan penghapusan cost recovery. Sebagai gantinya, disodorkan opsi royalti dan pajak yang menjadi bagian sistem kontrak bagi hasil atau production sharing contract.

"Jadi sistem PSC akan tetap dipertahankan, tapi cost recovery-nya dihilangkan karena ini sarang mafia," ujar Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Fahmy Radhi, di Jakarta, Rabu (14/1).

Opsi lainnya adalah penurunan bagi hasil migas menjadi 60% sehingga kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) berhak menikmati 40% sisanya. Semua opsi tersebut, menurut Fahmy, nantinya akan dituangkan dalam draf revisi UU Migas. Ia mengatakan, hal itu menjadi masukan dari pemerintah kepada DPR yang sudah lama berinisiatif untuk merevisi UU Migas.

Lebih lanjut, Fahmy mengatakan pihaknya yakin bahwa penghapusan cost recovery tak akan membuat investor lari. Selain itu, SKK Migas juga tetap bisa mengawasi KKKS meskipun tak ada lagi skema cost recovery. Pasalnya, ia mengatakan blok migas yang dikerjakan KKKS merupakan aset negara.

“Investor tidak akan mau masuk atau investasi hulu migas, tanpa ada cost recovery, itu tidak benar. Mitos itu,” tandasnya.

Fahmy menjelaskan, penghapusan cost recovery berdasarkan hasil kajian yang menunjukan bahwa selama ini hal itu justru sangat membebani negara. Ia menyebut, bahkan cost recovery cenderung menjadi permainan mafia migas. Menurutnya, salah satu bentuk permainan para pemburu rente adalah mark up klaim cost recovery.

“Tiap tahun cost recovery ini selalu naik, tapi lifting migasnya turun terus,” katanya.

Seperti diketahui, pada 2011, dana cost recovery yang diberikan pemerintah kepada KKKS mencapai AS$15,22 miliar, pada 2012 meningkat menjadi AS$15,51 miliar, pada 2013 meningkat lagi menjadi AS$15,92 miliar. Lalu pada 2014,mencapai yang dianggarkan pada APBN Perubahan 2014 sebesar AS$17,8 miliar, sampai 26 Desember 2014 realisasi cost recovery sudah mencapai AS$15,913 miliar.

Cost recovery adalah uang pengganti biaya operasi, yang dikeluarkan oleh KKKS untuk melaksanakan kegiatan eksplorasi dan produksi migas di suatu wilayah kerja atau blok migas. Biaya yang dapat dimasukkan sebagai cost recovery adalah biaya yang terkait langsung dengan operasi eksplorasi dan produksi migas di Indonesia. Kontraktor berhak mendapatkan biaya recovery setelah ladang minyak dan gas dapat berproduksi secara komersial melalui sistem bagi hasil dengan negara.

Selama ini, cost recovery telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Pemberlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Migas. Pengaturan ini mengacu pada UU No.36 Tahun 2008.  

Berdasarkan aturan itu, diketahui bahwa besaran dana pembebanan cost recovery akan sangat dipengaruhi oleh dinamika kegiatan operasional investor. Biaya produksi yang membengkak jelas akan mengurangi bagi hasil produksi migas. Dengan demikian, porsi bagi hasil untuk negara pun berkurang.

Mark up klaim cost recovery disinyalir terjadi ketika timbul biaya produksi yang terlalu tinggi. Diduga perusahaan sudah mengambil keuntungan terlebih dahulu yang disamarkan dalam bentuk biaya. Oleh karena itu, Fahmy mengakui bahwa opsi yang tertuang dalam draf revisi UU migas sebagai bentuk pembersihan praktik mafia.

“Kita akan dorong reformasi tata kelola migas dalam UU Migas. Membersihkan praktik mafia akan lebih efektif dengan mengubah sistem pengelolaannya, daripada menangkap para mafia,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait