MA Berharap Dilibatkan dalam Penyusunan PP Pengetatan PK
Utama

MA Berharap Dilibatkan dalam Penyusunan PP Pengetatan PK

PP Pengetatan PK juga sangat penting bagi Kejaksaan sebagai eksekutor dalam perkara pidana.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Ketua MA M Hatta Ali. Foto: RES
Ketua MA M Hatta Ali. Foto: RES
terkait pengetatan syarat pengajuan grasi dan peninjauan kembali (PK) kedua dan seterusnya.n MK No. 34/PUU-XI/2013 yang membolehkan PK dapat diajukan berkali-kali.   “Mudah-mudahan, sama-sama nanti kita membuat PP-nya,” ujar Hatta usai menghadiri acara Sidang Pleno Khusus Pengambilan Sumpah Jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK di Gedung MK, Rabu (14/1).         Di tempat yang sama, Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan PP Pengetatan PK yang tengah disusun sangat penting bagi Kejaksaan sebagai eksekutor dalam perkara pidana. Sebab, pihaknya merasa adanya putusan MK itu membuat kejaksaan seolah menunda-nunda pelaksanaan eksekusi terutama terhadap terpidana mati kasus-kasus narkoba.   “Adanya rencana penerbitan PP pengetatan PK sudah menjadi kesepakatan bersama dan persoalan ini sangat perlu untuk diatur,” kata Prasetyo.     Prasetyo menegaskan penerbitan PP itu sebagai kebutuhan mendesak agar kejaksaan tidak “dipermainkan” oleh terpidana mati dengan berlindung di balik putusan PK yang membolehkan PK berkali-kali. Menurutnya, adanya kriteria dan syarat pengajuan secara jelas dan ketat tentunya akan meminimalisir orang untuk mempermainkan aturan.          “Ini agar kita tidak dipermainkan, jangan ini menjadi upaya untuk mengulur-ngulur waktu, bagi terpidana mati,” kata dia.   Lebih jauh, dia mengatakan PP ini sebagai jalan keluar agar proses eksekusi terpidana mati tidak berlarut-larut. Sebab, setiap perkara harus ada akhirnya, sehingga ada kepastian hukum. “Atas dasar putusan MK itu, kita berharap PP itu bisa diselaraskan antara keadilan dan kepastian hukum,” katanya.    

Sebelumnya, sejumlah lembaga menyepakati untuk menyusun Peraturan Pemerintah (PP) terkait pengetatan syarat pengajuan grasi dan peninjauan kembali (PK) kedua dan seterusnya dalam perkara pidana sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUU-XI/2013. Langkah ini diputuskan sebagai jalan tengah mengatasi polemik pengajuan PK pasca terbitnya SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tentang PK Hanya Satu Kali yang dianggap bertentangan dengan putusan MK itu.        

Kesepakatan itu menghasilkan tiga poin besar yang akan dituangkan dalam PP. Pertama, bagi terpidana mati yang permohonan grasinya ditolak presiden, eksekusi tetap dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kedua, menindaklanjuti putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 tertanggal 6 Maret 2014 masih diperlukan peraturan pelaksanaan secepatnya tentang pengajuan permohonan PK terkait pengertian novum, pembatasan waktu pengajuan PK, dan tata cara pengajuan PK.

Ketiga, sebelum ada ketentuan pelaksanaan tersebut, terpidana belum dapat mengajukan PK berikutnya sesuai undang-undang (Pasal 268 ayat (3) KUHAP) yang telah diubah dengan Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013.  
Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali berharap lembaga yang dipimpinnya dapat dilibat dalam proses penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) Hal ini dimaksudkan agar MA bisa memperoleh kejelasan dalam penanganan PK tanpa bertentangan dengan putusa



MA merasa perlu memberi masukan kepada pemerintah dalam penyusunan PP itu. Sebab, MA dan lembaga peradilan di bawahnya merupakan lembaga yang akan melaksanakan ketentuan PP tersebut. “Tentunya, harus ada masukan karena yang melaksanakan kan MA,” kata dia.

Hatta belum dapat memastikan kapan PP tersebut rampung disusun. Meski begitu, dia berharap PP tersebut dapat segera diterbitkan untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi pencari keadilan.   

Saat pertemuan antar lembaga di Kemekumham kemarin, MA sudah diminta pandangan terkait rencana penerbitan PP Pengetatan PK itu. “Kita kirim Ketua Kamar Pidana dalam pertemuan itu. Mudah-mudahan secepatnya (PP itu terbit),” kata dia.











Dia mengakui pengajuan permohonan PK tidak menunda proses eksekusi terhadap terpidana. Namun, dia beranggapan terhadap hukuman pidana mati harus diperlakukan berbeda karena menyangkut hak asasi yang sangat mendasar. “Karena nyawa kan tidak bisa digantikan. Yang pasti kita tetap mengacu peraturan yang ada dalam eksekusi,” dalihnya.
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait