RPJMN 2015-2019 Kurang Perhatikan Lingkungan
Berita

RPJMN 2015-2019 Kurang Perhatikan Lingkungan

Makin sulit menyasar kejahatan lingkungan yang dilakukan korporasi dan mafia.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP (Ilustrasi)
Foto: SGP (Ilustrasi)
Sejumlah organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Antimafia Sumber Daya Alam (SDA) mengkritik Recana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. RPJMN itu dinilai minim mengakomodasi berbagai isu penting di sektor SDA dan lingkungan. Peneliti Hukum Yayasan Auriga, Grahat Nagara, mengatakan penegakan hukum di sektor SDA dan lingkungan hidup ke depan berpotensi tidak efektif karena arahnya tidak jelas.

“Penegakan hukum (dalam RPJMN 2015-2019) harus dirancang agar kejahatan SDA dan lingkungan menurun. Penegakannya harus mampu menyasar korporasi dan mafia,” katanya.

Perlu diperhatikan juga karakteristik kejahatan SDA dan lingkungan yaitu dilakukan oleh pelaku besar seperti korporasi sehingga kerusakan lingkungan yang ditimbulkan masif. Tindakan pasca penegakan hukum juga perlu diatur, seperti bagaimana mekanisme pemulihan atas kerusakan hutan yang muncul akibat kejahatan yang telah dilakukan.

Grahat melihat penegakan hukum SDA dan lingkungan dilakukan parsial, seolah-olah masalah selesai dengan satgas antimafia hutan dan tambang. Padahal, untuk mengatasi kejahatan itu diperlukan penegakan hukum yang komprehensif, diarahkan pada tipologi kejahatan. Sebaliknya, Grahat khawatir kriminalisasi berlebihan terhadap masyarakat akan terus terjadi.

Dalam RPJMN 2015-2019 Grahat mencatat penegakan hukum yang tercantum hanya bidang pemberantasan korupsi dan penegakan HAM. Padahal dari berbagai kasus yang terungkap, kejahatan SDA dan lingkungan bersinggungan dengan kasus korupsi dan tak jarang berkaitan dengan HAM.

Begitu pula pembentukan lembaga penyelesaian konflik agraria sebagaimana dijanjikan Presiden Jokowi dalam kampanye tidak terlihat dalam RPJM 2015-2019. Pemerintah ditengarai akan menyelesaikan masalah konflik agraria secara sektoral dengan membentuk satgas yang berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Padahal untuk menyelesaikan konflik agraria dibutuhkan sebuah lembaga yang punya kewenangan kuat, bukan sekadar satgas. Apalagi, konflik agraria menyangkut kewenangan sejumlah lembaga pemerintahan terkait sehingga dibutuhkan koordinasi antar lembaga.

Anggota koalisi dari Epistema Institute, Mumu Muhajir, menilai RPJMN 2015 -2019 belum memuat keinginan Presiden Jokowi untuk memperkecil ketimpangan penguasaan pengelolaan kawasan hutan. Padahal, keinginan itu sempat dilontarkan Presiden Jokowi pada saat kampanye Pilpres pada beberapa kesempatan. “Lebih dari 90 persen pengelolaan kawasan hutan dikuasai perusahaan besar,” urainya.

Bahkan target pemerintah Jokowi untuk memperluas wilayah kelola rakyat dalam kawasan hutan turun dari 40 juta hektar jadi 12,7 juta hektar pada 2019. Bagi Mumu pemerintah, khususnya Bappenas harus menjelaskan kepada publik terkait penurunan target itu.

Mumu juga menyoroti masalah pengukuhan kawasan hutan dalam RPJMN 2015-2019. Pemerintah menargetkan proses pengukuhan kawasan hutan sebesar 100 persen dan target 40ribu km untuk penyelesaian batas luar dan batas fungsi kawasan hutan. Namun, tidak ada program untuk memperbaiki proses pengukuhan kawasan hutan. Begitu pula dengan evaluasi terhadap pengukuhan kawasan hutan dan izin yang menyebabkan konflik.

RPJMN seyogianya memuat evaluasi izin yang telah diterbitkan dan moratorium penerbitan izin baru dalam kawasan hutan. Ini diperlukan sebagai prasyarat penyelesaian konflik. Namun, dalam RPJMN 2015-2019 yang banyak disinggung malah optimalisasi dan efisiensi proses perizinan.

Oleh karena itu Mumu menilai antara kebijakan dengan fakta dilapangan tidak sinkron. Sebab, secara ekologis tidak memungkinkan penerbitan izin baru tapi dalam RPJMN pemerintah mempermudah perizinan. Penerbitan izin itu harusnya ditujukan untuk mencegah kerusakan lingkungan. “Kerusakan lingkungan itu biayanya lebih mahal daripada keuntungan yang diperoleh pemerintah dari investasi,” paparnya.

Walau mengkritik, koalisi mengapresiasi langkah pemerintah yang terbuka dan mengajak masyarakat memberi masukan terhadap RPJMN 2015-2019. Pasalnya selama ini pembahasan RPJMN kerap dianggap sebagai urusan pemerintah.
Tags:

Berita Terkait