Kisah Marco, Pilot Brasil yang Akan Dieksekusi Mati di Indonesia
Berita

Kisah Marco, Pilot Brasil yang Akan Dieksekusi Mati di Indonesia

Mengaku perlu uang untuk berobat pasca kecelakaan di Bali.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Pengacara terpidana mati Marco Archer Cardoso Moreira, Utomo Karim. Foto: www.linkedin.com
Pengacara terpidana mati Marco Archer Cardoso Moreira, Utomo Karim. Foto: www.linkedin.com

Kejaksaan akan segera mengeksekusi enam terpidana mati pada 18 Januari mendatang. Dari enam terpidana mati, lima orang adalah bukan warga negara Indonesia. Salah satunya berasal dari Brasil. Namanya, Marco Archer Cardoso Moreira. 

“Marco Archer Cardoso Moreira. Usia 53 tahun. Pekerjaannya pilot. Tubuhnya gagah, tinggi besar,” ujar Jaksa Agung M Prasetyo saat mengumumkan satu per satu terpidana yang akan dieksekusi mati, Kamis (15/1).

Ya, Marco memang awalnya berprofesi sebagai pilot. Lalu, bagaimana seorang pilot asal Brasil ini bisa tercemplung ke lembah hitam peredaran narkoba hingga harus mengakhiri hidupnya di hadapan eksekutor kejaksaan?

Pengacara Marco, Utomo Karim mengamini kliennya memang berprofesi sebagai pilot. “Kalau tadi jaksa agung bilang yang dieksekusi bandar narkoba, jaringan internasional dan terkait dengan itu, dia tidak. Dia itu pilot,” ujar pria yang sempat hadir di barisan wartawan saat konferensi pers itu.

Utomo menjelaskan pangkal masalah yang dialami kliennya itu adalah ketika Marco mengalami kecelakaan di Bali. Kemudian, Marco berobat ke Singapura cukup lama dan cukup menghabiskan banyak biaya. “Nah, di situ dia kebingungan,” ujarnya usai konferensi pers ke Hukumonline.com.

Lalu, lanjut Utomo, kliennya itu meminjam uang dari lintah darat. Marco pun kebingungan mengembalikan utangnya itu karena utangnya semakin lama semakin menumpuk. “Akhirnya, dia ambil kerjaan bawa narkoba. Tapi, dia bukan bagian dari satu jaringan,” ujarnya.

Utomo mengatakan bila Marco merupakan bagian dari jaringan narkoba, maka pasti dia akan memperoleh dukungan dari jaringannya tersebut. “Kita bisa lihat, kalau namanya jaringan, apalabi sindikat internasional, pasti di-back up. Ini kan nggak? Dia hadapi ini sendiri,” tukasnya.

Sebagaimana dikutip dari berbagai sumber, Marco yang berprofesi sebagai pilot ini juga hobi terbang gantole. Ia menyembunyikan kokain sebanyak 13,4 kilogram di dalam pipa kerangka gantole yang dibawanya. Aksi ini diketahui ketika ia tiba di Bandara Soekarno-Hatta pada Agustus 2003. Ia sempat melarikan diri ke Nusa Tenggara Barat (NTB). 

Dua pekan kemudian, Marco tertangkap dan diseret di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang pada Juni 2004. Dalam persidangan, Marco juga bercerita tentang kondisi dirinya yang harus membayar utang setelah berobat, tetapi pembelaan ini tidak diindahkan oleh majelis hakim.

Majelis Hakim PN Tangerang memvonis Marco dengan hukuman mati pada Juni 2004. Ia mengajukan banding, tetapi Pengadilan Tinggi Banten menolak permohonan banding pada Januari 2005. Di tingkat Mahkamah Agung (MA), putusan terhadap Marco juga tetap hukuman mati.

Marco juga diketahui mengajukan beberapa kali grasi, hingga terakhir grasinya ditolak oleh Presiden Jokowi pada 30 Desember 2014 lalu.

Keluarga Ingin Bertemu 
Utomo menjelaskan bahwa permintaan terakhir Marco sebelum dijatuhi hukuman mati adalah bertemu dengan keluarganya dari Brasil. Ia, bersama dengan konsuler dari Kedubes Brasil di Jakarta, mencoba menyampaikan hal ini kepada Kejaksaan.

Menurutnya, permintaan kliennya itu adalah hal yang wajar, tetapi memang membutuhkan waktu karena keluarga Marco ada di Brasil. Utomo menghitung keluarga Marco baru ada di Jakarta pada Sabtu (17/1), sedangkan Marco akan dieksekusi di Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah pada Minggu (18/1). Ia khawatir keluarga tidak bisa bertemu sesuai dengan permintaan terakhir Marco.

“Bukan hal yang aneh. Cuma jadi masalah karena jauh (dari Brasil,-red). Makanya perlu waktu,” tambahnya.

Tags:

Berita Terkait