Komite HAM PBB Sesalkan Rencana Eksekusi Mati
Berita

Komite HAM PBB Sesalkan Rencana Eksekusi Mati

Hukuman mati harus dilaksanakan dengan persyaratan yang ketat dan hanya untuk kejahatan yang tergolong serius.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Ketua Komnas HAM, Hafid Abbas (dua dari kanan). Foto: RES
Ketua Komnas HAM, Hafid Abbas (dua dari kanan). Foto: RES
Anggota Komite HAM PBB asal Belanda, Cornelis Flinterman, mengungkapkan penyesalannya atas rencana eksekusi terpidana mati kasus narkotika oleh Kejaksaan Agung. Flinterman sudah mengunjungi Kejaksaan Agung dalam rangka menyusun laporan HAM Indonesia. Ia juga menagih janji pemerintah atas pelaksanaan Rekomendasi Komite HAM PBB.

Flinterman mengklaim sudah menanyakan rencana pelaksanaan vonis mati itu ke Kejaksaan. Komite HAM PBB merekomendasikan penghapusan pidana mati. Sebaliknya, Kejaksaan menegaskan hukuman mati masih diakui dalam hukum positif Indonesia, khususnya untuk kejahatan yang serius. Nah, di sinilah antara lain perbedaan pandangan. Komite HAM PBB menganggap kejahatan narkotika tak termasuk kejahatan serius. Sebaliknya Indonesia menganggap narkotika kejahatan serius, dan pelakunya masih bisa dihukum mati.

“Kovenan Sipol memang tidak melarang praktik hukuman mati masih diterapkan oleh negara pihak (seperti Indonesia,-red) tapi syarat-syaratnya ketat. Diantaranya, hukuman mati hanya untuk kejahatan yang tergolong serius,” kata Flinterman dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (16/1).

Atas dasar itu Flinterman menganjurkan pemerintah Indonesia mengevaluasi peraturan perundang-undangan terkait hukuman mati. Sehingga, kejahatan yang tidak tergolong serius seperti narkotika, pelakunya tidak perlu dihukum mati. Bisa saja hukuman berat.

Perbaikan regulasi itu dapat dimulai dengan melanjutkan moratorium hukuman mati seperti yang telah dijalankan Indonesia pada masa pemerintahan sebelumnya. Selain merevisi peraturan terkait Flinterman juga mengusulkan agar Indonesia meratifikasi protokol opsional kedua kovenan hak Sipol yang intinya mengarah pada penghapusan hukuman mati.

Anggota Komite HAM PBB asal Kosta Rika, Victor Manuel Rodriguez, menegaskan secara umum lembaga HAM internasional memandang kejahatan narkotika bukan kejahatan serius. Kejahatan narkotika lebih disepakati sebagai masalah besar yang perlu diselesaikan dengan solusi yang besar dan komprehensif.

Sehingga, dikatakan Rodriguez, tidak tepat jika hukuman mati dianggap sebagai solusi dalam memberantas kejahatan narkotika. Butuh perbaikan menyeluruh dan meliputi berbagai bidang seperti akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang layak.

Rodriguez mengingatkan, kejahatan narkotika juga menjadi masalah besar yang dihadapi negara-negara lain. Namun, pemberantasannya tidak bisa dilakukan dengan menerapkan hukuman mati. Misalnya, Amerika Serikat, masih menerapkan hukuman mati, tetapi tidak otomatis menurunkan tingkat kejahatan karena masih terdapat orang yang melakukan kejahatan. “Hukuman mati tidak memberi efek jera,” tegasnya.

Sebelumnya, Ketua Komnas HAM, Hafid Abbas, menyebut rencana eksekusi mati yang akan dilaksanakan pemerintah Indonesia disorot masyarakat di tingkat nasional dan internasional. Menurutnya, pelaksanaan hukuman mati itu kontraproduktif terhadap penegakan dan pemenuhan HAM. Diantaranya dalam membela warga negara Indonesia (WNI) yang terancam hukuman mati di luar negeri.

Hafid mengingatkan dalam pergaulan internasional ada prinsip yang disebut asas timbal balik. Misalnya, dalam memperjuangkan pembebasan WNI yang terancam hukuman mati di negara lain, maka negara tersebut bisa mempertanyakan pelaksanaan hukuman mati di Indonesia. Komnas HAM mencatat sedikitnya 278 WNI terancam hukuman mati di luar negeri. “Kalau kita minta negara lain membebaskan WNI kita dari hukuman mati maka sikap kita kontradiktif saat melakukan eksekusi mati di dalam negeri,” paparnya.
Tags:

Berita Terkait