BPK: 45 Anak Usaha BUMN Berpotensi Rugikan Negara
Berita

BPK: 45 Anak Usaha BUMN Berpotensi Rugikan Negara

Jokowi disarankan untuk membatalkan PP No.72 Tahun 2014 tentang Holding PTPN.

Oleh:
YOZ/ANT
Bacaan 2 Menit
Achsanul Qosasih. Foto: SGP.
Achsanul Qosasih. Foto: SGP.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memeriksa 45 anak perusahaan BUMN yang dinilai berpotensi merugikan keuangan negara dan korporasi. Menurut Anggota VII BPK, Achsanul Qosasi, pemeriksaan terhadap 45 anak usaha BUMN tersebut bagian program tindak lanjut pembenahan perusahaan milik negara oleh BPK.

Menurut Achsanul, BPK memberikan catatan kepada Kementerian BUMN bahwa pendirian anak usaha cenderung menjadi tempat transaksi yang digunakan untuk kepentingan tertentu. "Selain itu, lembaga DPR hingga kini belum optimal dalam melakukan pengawasan terhadap sekitar 600 anak usaha BUMN," kata Achsanul, Jumat (16/1).

Dalam pemeriksaan tersebut, BPK akan memfokuskan pada pemeriksaan kinerja, sehingga produk-produk BPK bukan hanya terhadap kebenaran akutansi, tapi lebih pada program efektifitas dan efisiensi keuangan negara di BUMN.

Sementara itu, Menteri BUMN Rini Soemarno menyatakan mendukung program pembenahan anak usaha BUMN untuk terciptanya tata kelola perusahaan (good corporate governance/GCG). Menurutnya, anak usaha BUMN perlu mendapat perhatian khusus agar lebih transparan.

“Ini bukan intervensi tetapi lebih bagaimana melakukan pembenahan secara meluruh," ujar Rini.

Dia menambahkan, dukungan BPK untuk membenahi BUMN menjadi sangat penting karena akan mendorong perbaikan kinerja perusahaan. "Program ini tidak akan menghambat pertumbuhan dan pengembangan usaha. Karena pengembangan usaha tanpa penerapan GCG itu juga tidak benar," katanya.

Pada kesempatan itu, BPK juga mengumumkan bahwa telah menindaklanjuti 10.508 temuan dari 11.018 temuan atau sekitar 95,3 persen, sisanya dalam proses penyelesaian. Penyelesaan rekomendasi yang di bawah 50 persen adalah PT Merpati (13,34 persen), Pelindo II (39,17 persen), Perum Perumnas (45,83 persen), Hotel Indonesia Natour (12,5 persen), IndoFarma (48,31 persen).

Selanjutnya, Industri Kapal Indonesai (38,10 persen), Perum Perikanan Indonesia (34,62 persen), Balai Pustaka (8,07 persen), Perum PFN (32,43 persen) dan Kawasan Industri Makassar (46,67 persen).

Holding PTPN
Terpisah, Ketua Umum FSP BUMN Bersatu, FX Arief Poyuono, mengatakan di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), banyak sekali dikeluarkan UU, PP dan Kepres yang tidak berpihak kepada kepentingan aset nasional. Salah satu contohnya adalah Peraturan Pemerintah (PP) No.72 Tahun 2014 yang dikeluarkan pada bulan September, jelang berakhirnya pemerintahan SBY.

Menurutnya, PP No. 72  Tahun 2014 tentang Holding PTPN berpotensi merugikan kepentingan aset BUMN dan akan mudah di kuasai oleh konglomerasi asing yang bergerak di bidang usaha perkebunan.

Dari sisi hukum, Holding PTPN sangat membahayakan aset PTPN sebab jika holding PTPN melakukan suatu perjanjian bisnis dengan pihak luar dan terjadi dispute, bisa berpotensi semua aset dari PTPN 1 hingga PTPN 14 di bekukan atau disita oleh pengadilan arbitrase jika ternyata dalam pengadilan arbiterase holding PTPN kalah.

Selain itu, PP No. 72 Tahun 2014 menjadikan status PTPN 1 hingga PTPN 14 menjadi anak perusahaan holding PTPN dan menjadi berstatus Perusahaan swasta sehingga jika ada penyimpangan keuangan oleh direksi PTPN tidak bisa dijerat oleh UU anti korupsi dan  jika terjadi dispute dalam perjanjian bisnis dengan pihak luar bisa langsung disita jika dispute bisnisnya hingga ke ranah pengadilan dan kalah.

“Karena itu, Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu mendesak Pemerintahan Jokowi yang menganut sistim ekonomi Trisakti harus membatalkan PP No.72 Tahun 2014 tentang Holding PTPN yang banyak berpotensi merugikan negara,” kata Arief.
Tags:

Berita Terkait