Tunjuk Plt Kapolri, Jokowi Dinilai “Tabrak” UU Polri
Utama

Tunjuk Plt Kapolri, Jokowi Dinilai “Tabrak” UU Polri

Presiden beserta timnya seolah tak paham hukum.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Komjen Pol Budi Gunawan. Foto: RES
Komjen Pol Budi Gunawan. Foto: RES
Belum selesai persoalan Komjen Pol Budi Gunawan, Presiden Joko Widodo membuat kebijakan dengan mengangkat pelaksana tugas Kapolri, Komjen Pol Badrodin Haiti. Kebijakan tersebut dinilai telah menyalahi aturan sebagaimana tertuang dalam UU No.2 Tahun 2002 tentang Polri.

“Pergantian Kapolri itu secara hukum duatur Pasal 11 ayat (3) dan otomatis mengangkat seorang Kapolri. Tapi yang terjadi ini kan tidak, malah menunjuk Plt Kapolri,” ujar Ketua Komisi III, Aziz Syamsuddin di Gedung DPR, Senin (19/1).

Aturan pengangkatan dan pemberhentian seorang Kapolri tertuang dalam Pasal 11 ayat (1) sampai dengan (8) UU tentang Polri. Pengangkatan pejabat Kapolri baru sepaket dengan pemberhentian pejabat Kapolri lama. Kebijakan Jokowi mengangkat pelaksana tugas Kapolri sebagai jalan tengah lantaran Komjen Budi Gunawan berstatus tersangka juga harus sesuai dengan UU Polri.

“Menurut hemat saya, ini tidak bisa dibiarkan. Dalam satu atau dua hari ini presiden harus mengambil sikap, agar kebijakan institusi Polri itu bisa legitimate. Karena Plt tidak bisa memutuskan kebijakan-kebijakan yang bersifat strategis,” ujar politisi Partai Golkar itu.

Hal senada disampaikan Wakil Ketua Komisi III, Desmon J Mahesa. Dia menilai penunjukan Plt Kapolri dinilai menyalahi kewenangan. Menurutnya, penujukan Plt Kapolri mesti terdapat Kapolri definitif. Namun faktanya, presiden mengajukan Budi Gunawan menjadi Kapolri ke DPR. Oleh DPR telah diaminkan, termasuk pemberhentian Jenderal Sutarman sebagai Kapolri.

“Harusnya Jokowi mengangkat dulu pak Budi Gunawan baru menonaktifkan pak Budi  dalam menghadapi kasus sangkaan KPK, kemudian baru betul pak Badrodin Haiti jadi Plt,” ujarnya.

Desmon berpandangan, dari aspek hukum, penunjukan Badrodin sebagai Plt Kapolri seolah menggantung. Ia menilai penunjukan Plt Kapolri mesti dalam keadaan mendesak sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 ayat (5). Ayat tersebut menyatakan, “Dalam keadaan mendesak, presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutkan dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.

Merujuk pada ayat tersebut, semestinya presiden berkirim surat ke DPR untuk meminta persetujuan. Setidaknya, membahas soal kondisi kekinian yang mengharuskan menunjuk Plt. Persetujuan DPR dilakukan dalam rapat paripurna. Faktanya, Jokowi mengesampingkan hal tersebut. Akibatnya, Jokowi dinilai menabrak UU Polri.

“Dalam hal ini, presiden tidak bisa menabrak UU Kepolisian, walaupun itu hak prerogratif, tapi ada batasan hak prerogratif,” ujarnya.

Tidak menutup kemungkinan politisi Partai Gerindra itu bakal menggunakan hak interpelas sebagai anggota dewan. Namun, kemungkinan menggunakan hak tersebut mesti dilakukan melalui rapat pleno komisi terlebih dahulu. Setidaknya, sepuluh fraksi memberikan pandangannya terlebih dahulu sebelum mengambil sikap.

“Akan dilihat dalam pleno terkait pelanggaran hukum yang diberikan presiden saat ini,” ujarnya.
Senada, anggota Komisi III Sarifuddin Sudding mengatakan, dalam perspektif perundangan, Jokowi dinilai melakukan pelanggaran terhadap UU No.2 Tahun 2002. Dia menilai penunjukan Plt Kapolri mesti mendapat persetujuan DPR. Ironisnya, presiden tak mengirimkan surat pemberitahuan, apalagi meminta persetujuann DPR.

“Memang kalau kita melihat perspektif UU, saya kira dilakukan Jokowi berpotensi melakukan pelanggaran UU,” ujarnya.

Politisi Partai Hanura itu berpendapat, semestinya sebelum melakukan penjukan Plt Kapolri, presiden terlebih dahulu melantik Budi Gunawan untuk kemudian menonaktifkan. Langkah Jokowi menujuk Plt tanpa melantik Kapolri baru seolah menabrak aturan internal Polri.

“Ini kan sudah memberhentikan Kapolri lama, tidak mengangkat kapolri baru tetapi langsung ada Plt. Nah Plt ini untuk siapa, siapa yang di Plt kan,” pungkasnya.

Lemah di bidang hukum
Kebijakan Jokowi di bidang hukum seolah lemah. Malahan, acapkali menjadi blunder akibat kebijakan yang menabrak aturan. Jokowi semestinya mendapat masukan dari orang sekelilingnya di bidang hukum sebelum mengambil kebijakan yang tepat sasaran. Dalam kasus Budi Gunawan, Jokowi malah membuat persoalan baru.

“Presiden yang tidak paham hukum,” ujar Desmon.

Menurut Desmon, presiden setidaknya melayangkan surat atau setidaknya ada pemberitahuan sebelum penunjukan Plt. Hal itu menjadi keharusan. Hal itu sesuai Pasal 11 ayat (5) UU Polri. Kebijakan Jokowi tersebut dinilai berada di ranah abu-abu.

“Kalau paham hukum, diangkat dulu Budi Gunawan, kemudian dinonaktifkan dan menunjuk Plt,” ujarnya.

Dikatakan Desmon, penundaan pelantikan terhadap Budi Gunawan tanpa kejelasan batas waktu. Bukan tidak mungkin masyarakat bakal bertanya mengenai penunjukan tersebut. “Ini tidak jelas, Presiden Jokowi dan timnya tidak jelas,” katanya.

Sudding telihat menyembuyikan kekecewaanya terhadap Jokowi. Soalnya, partai tempatnya bernaung mendukung penuh Jokowi saat Pilpres lalu. Namun, sebagai orang hukum, ia tetap memberikan kritikan sepanjang membangun.

“Bukan persoalan kecewa, tapi kita melihat dalam perspektif UU bahwa ada potensi pelanggaran terhadap UU yang dilakukan Presiden Jokowi, khususnya UU No.2 Tahun 2002 dalam penunjukan pelaksana tugas,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait