Renegosiasi Belum Tercapai, Pemerintah Perpanjang MoU dengan Freeport
Berita

Renegosiasi Belum Tercapai, Pemerintah Perpanjang MoU dengan Freeport

Selain meminta pembangunan smelter, pemerintah meminta Freeport meningkatkan porsi bagi hasil dengan pemerintah.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Foto: www.ptfi.co.id
Foto: www.ptfi.co.id
Pemerintah memutuskan untuk memperpanjang nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) dengan Freeport yang akan berakhir pada tanggal 24 Januari 2015. MoU tersebut merupakan kesepakatan terkait dengan renegosiasi kontrak karya perusahaan tambang asal negeri Paman Sam itu.

Keputusan itu lahir setelah digelar rapat antara pemerintah dan direksi Freeport, Jumat (23/1). Pihak pemerintah diwakili Direktur Jenderal Minerba R. Sukhyar yang sekaligus memimpin pertemuan itu. Sedangkan PT Freeport Indonesia diwakili Maroef Sjamsoeddin selaku Presiden Direktur.

Sukhyar mengatakan, pemerintah akan menambahkan klausul mengenai pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) di Papua. Usulan lainnya, Freeport diminta untuk berkontribusi dalam pembangunan nasional dengan meningkatkan porsi bagi hasil dengan pemerintah. Selama ini, pemerintah hanya mendapatkan 40 persen dalam porsi bagi hasil. Apabila disepakati, maka hal tersebut akan dibahas dalam penyusunan amandemen kontrak Freeport.

MoU amandemen kontrak merupakan kesepahaman tertulis atas tercapainya kesepakatan enam poin renegosiasi. Dalam MoU itu disebutkan kedua belah pihak bakal menandatangani amandemen kontrak paling lambat enam bulan atau pada 24 Januari 2015. MoU akan diperpanjang hingga kedua pihak mencapai kesepakatan dalam penjabaran enam poin renegosiasi dandituangkandi amandemen kontrak.

“Tadi kita bahas kalau MoU itu diperpanjang. Berapa lama perpanjangannya, ini yang sedang kita bahas dengan Freeport. Prinsipnya, mereka ingin terus di Indonesia dan kita juga sama ingin Freeport di Indonesia,” ujar Sukhyar usai pertemuan itu.

Sukhyar mengatakan, dalam pertemuan itu pemerintah kembali meminta manajemen Freeport untuk membangun smelter di Papua. Hal ini disampaikan sebagai syarat disetujuinya rencana kegiatan produksi tambang bawah tanah di wilayah kerja Big Gossan, DOZ, dan Grasberg. Selain itu, dibangunnya smelter tersebut tentu akan memberikan efek domino bagi kesejahteraan masyarakat Papua.

“Artinya seberapa besar Freeport bisa berkontribusi kepada Papua dan Indonesia. Itu saja sebenarnya. Ini yang sedang kita diskusikan dengan Freeport,” ungkapnya.

Pemerintah baru akan memperpanjang izin ekspor apabila Freeport telah menunjukkan kemajuan pembangunan smelter. Namun hingga kini, menurut Sukhyar, evaluasi kemajuan pembangunan itu belum final. Pembahasan mengenai hal itu masih terus berlanjut.

Maroef Sjamsoeddin mengaku bahwa pihaknya berkomitmen untuk membangun Papua. Ia meyakinkan, Freeport telah menyusun rencana jangka panjang terkait kontribusi perusahaan. Menurut Maroef,Freeport akan menjadi perusahaan yang memiliki manfaat dan berkontribusi terhadap pembangunan di wilayah Papua.

"Selain itu, Freeport akan memberi pemasukan yang lebih besar bagi negara," tandasnya.

Sementara itu, terkait dengan permintaan pemerintah agar perusahaannya membangun smelter di Papua, Maroef menanggapi dingin. Ia hanya menjawab singkat bahwa untuk mewujudkan hal itu membutuhkan proses. Maroef berpendapat, pihaknya akan tetap berusaha untuk memberi nilai manfaat di wilayah Papua.

"Perusahaan harus punya nilai manfaat kepada masyarakat Papua, karyawan, dan pemerintah. Berkontribusi di wilayah Papua. Jangan cuma mengolah. Termasuk membangun smelter di Papua, tapi tentunya ada proses," jelasnya.

Freeport sendiri telah  menandatangani MoU dengan PT Petrokimia Gresik untuk pembangunan smelter di Jawa Timur. Untuk membangun smelter itu Freeport akan menyewa lahan seluas 60 hektar milik Petrokimia Gresik. Rencananya smelter itu akan berkapasitas 500 ribu ton tembaga katoda dengan investasi mencapai AS$ 2,3 miliar.
Tags:

Berita Terkait