Calon Jamaah Haji Persoalkan Aturan Pengelolaan Setoran BPIH
Berita

Calon Jamaah Haji Persoalkan Aturan Pengelolaan Setoran BPIH

Majelis menilai permohonan lebih banyak menguraikan kasus konkret yang dialami pemohon.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Ketua Panel Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams beserta Hakim Anggota Muhammad Alim dan Suhartoyo saat sesi menyampaikan nasihat kepada pihak pemohon pengujian UU Pengelolaan Keuangan Haji, Selasa (27/1). Foto: Humas MK
Ketua Panel Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams beserta Hakim Anggota Muhammad Alim dan Suhartoyo saat sesi menyampaikan nasihat kepada pihak pemohon pengujian UU Pengelolaan Keuangan Haji, Selasa (27/1). Foto: Humas MK
        Fathul melanjutkan ketentuan kewajiban setoran awal BPIH sebesar Rp25 juta ke rekening Menteri Agama/BPKH bentuk pemaksaan kehendak terhadap calon jemaah haji. Soalnya, nilai manfaat dari setoran awal itu dianggap tidak jelas karena tanpa adanya akad/perjanjian, jaminan dan persyaratan yang jelas. Sementara pelaksanaan ibadah hajinya atau daftar tunggu masih sekitar antara 15-25 tahunan ke depan.    “Setoran awal BPIH untuk memperoleh porsi bentuk perampasan hak konstitusional para pemohon,” kata dia.   Menurutnya, pada dasarnya setoran awal BPIH beserta nilai manfaatnya mutlak milik calon jemaah haji daftar tunggu yang tidak boleh dikuasai siapapun dan harus dikembalikan kepada calon haji. Bukan malah dimasukkan dalam rekening atas nama BPKH. Terlebih, dana operasional dan biaya gaji pegawai BPKH dapat diambil dari nilai manfaat setoran awal BPIH.   “Seharusnya biaya penyelenggaraan haji daftar tunggu bukanlah setoran awal BPIH berikut tambahan nilai manfaatnya, melainkan setoran BPIH dan manfaatnya pada tahun berjalan. Setoran awal sifatnya tidak boleh memaksa dan harus sukarela,” tegasnya.    

“Menyatakan Pasal 5 dan Pasal 6 UU PKH sepanjang frasa ‘Setoran BPIH’ dan frasa ‘nilai manfaat keuangan haji’ sepanjang tidak dimaknai sebagai ‘Setoran BPIH’ dan ‘nilai manfaat keuangan haji pada tahun berjalan’ penyelenggaraan ibadah haji’,” pintanya.   

Menanggapi permohonan, Suhartoyo menilai permohonan lebih banyak menguraikan kasus konkrit yang dialami pemohon. Permohonan mesti dipertajam menyangkut kerugian konstitusional dan pertentangan norma yang diuji dengan UUD 1945. “Tetapi, nanti permohonannya dipertegas atau dipisahkan antara kasus konkrit dengan kerugian konstitusionalnya. Ini agar permohonan Anda tidak kehilangan ‘rohnya’,” pinta Suhartoyo.  

Wahiduddin Adams pun menilai materi permohonan lebih banyak menguraikan implementasi norma dalam kasus konkrit yang dialami. Karenanya, dia meminta agar pemohon mempelajari risalah lahirnya UU PIH dan UU PKH, sehingga dapat diketahui pertentangan norma yang dimohonkan pengujian. “Ini agar pemohon mengetahui isi dan ‘roh/jiwa’ setiap pasal yang diuji,” katanya.
Sejumlah calon jemaah haji (Calhaj) mempersoalkan sejumlah pasal dalam UU No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (PIH) dan UU No. 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji (PKH) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka adalah Fathul Hadie Usman, Sumilatun, JN Raisal Haq yang keberatan lantaran dibolehkan ibadah haji lebih dari sekali dan kewajiban setoran awal Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) termasuk pengelolaannya oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).   

Secara khusus, mereka memohon pengujian Pasal 4 ayat (1); Pasal 5; Pasal 23 ayat (1), (2); Pasal 30 ayat (1) UU Penyelenggaraan Ibadah Haji terkait persyaratan berhaji dan setoran awal BPIH atas nama menteri. Selain itu, Pasal 5 huruf a, b; Pasal 6-8, Pasal 10, Pasal 12, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 23-26, Pasal 50 UU Pengelolaan Keuangan Haji mengatur pengelolaan setoran awal BPIH/BPIH khusus berikut nilai manfaatnya yang pengelolaannya dilaksanakan BPKH.     

Dalam sidang, salah satu pemohon Fathul menuturkan hak para pemohon menunaikan ibadah haji terhambat lantaran banyaknya orang yang berhaji lebih dari sekali tanpa syarat tertentu. Padahal, kewajiban berhaji hanya sekali seumur hidup. Persyaratan berhaji dinilai mengandung ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum terutama bagi orang Islam yang sudah berhaji. Terlebih, saat ini saja daftar tunggu ibadah haji mencapai 22 tahun.

“Jika yang sudah berhaji masih diperbolehkan berhaji lagi, ini menghalangi/menghambat atau mengurangi kesempatan pemohon untuk dapat menunaikan kewajiban ibadah haji,” ujar Fathul dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Wahiddudin Adams di ruang sidang MK, Selasa (27/1). Wahiddun didampingi Muhammad Alim dan Suhartoyo selaku anggota majelis panel.









“Aturan bimbingan haji oleh masyarakat juga tidak jelas, karena praktiknya KBIH menarik biaya bimbingan haji sendiri di luar dari setoran BPIH. Sebab, kebanyakan jemaah haji bukan orang kaya raya, tetapi karena terpanggil hatinya dan siap menabung.”    

Karenanya, para pemohon meminta agar pasa-pasal itu dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Misalnya, Pasal 4 ayat (1) UU PIH bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “kecuali bagi orang Islam yang sudah menjalankan ibadah haji. Selain itu, Pasal 5 UU PIH dimaknai setiap orang yang mendaftarkan haji daftar tunggu wajib membayar BPIH (setor awal haji), tabungan haji, atau cicilan haji.
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait