“Menyatakan Pasal 5 dan Pasal 6 UU PKH sepanjang frasa ‘Setoran BPIH’ dan frasa ‘nilai manfaat keuangan haji’ sepanjang tidak dimaknai sebagai ‘Setoran BPIH’ dan ‘nilai manfaat keuangan haji pada tahun berjalan’ penyelenggaraan ibadah haji’,” pintanya.
Menanggapi permohonan, Suhartoyo menilai permohonan lebih banyak menguraikan kasus konkrit yang dialami pemohon. Permohonan mesti dipertajam menyangkut kerugian konstitusional dan pertentangan norma yang diuji dengan UUD 1945. “Tetapi, nanti permohonannya dipertegas atau dipisahkan antara kasus konkrit dengan kerugian konstitusionalnya. Ini agar permohonan Anda tidak kehilangan ‘rohnya’,” pinta Suhartoyo.
Wahiduddin Adams pun menilai materi permohonan lebih banyak menguraikan implementasi norma dalam kasus konkrit yang dialami. Karenanya, dia meminta agar pemohon mempelajari risalah lahirnya UU PIH dan UU PKH, sehingga dapat diketahui pertentangan norma yang dimohonkan pengujian. “Ini agar pemohon mengetahui isi dan ‘roh/jiwa’ setiap pasal yang diuji,” katanya.
Secara khusus, mereka memohon pengujian Pasal 4 ayat (1); Pasal 5; Pasal 23 ayat (1), (2); Pasal 30 ayat (1) UU Penyelenggaraan Ibadah Haji terkait persyaratan berhaji dan setoran awal BPIH atas nama menteri. Selain itu, Pasal 5 huruf a, b; Pasal 6-8, Pasal 10, Pasal 12, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 23-26, Pasal 50 UU Pengelolaan Keuangan Haji mengatur pengelolaan setoran awal BPIH/BPIH khusus berikut nilai manfaatnya yang pengelolaannya dilaksanakan BPKH.
Dalam sidang, salah satu pemohon Fathul menuturkan hak para pemohon menunaikan ibadah haji terhambat lantaran banyaknya orang yang berhaji lebih dari sekali tanpa syarat tertentu. Padahal, kewajiban berhaji hanya sekali seumur hidup. Persyaratan berhaji dinilai mengandung ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum terutama bagi orang Islam yang sudah berhaji. Terlebih, saat ini saja daftar tunggu ibadah haji mencapai 22 tahun.
“Jika yang sudah berhaji masih diperbolehkan berhaji lagi, ini menghalangi/menghambat atau mengurangi kesempatan pemohon untuk dapat menunaikan kewajiban ibadah haji,” ujar Fathul dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Wahiddudin Adams di ruang sidang MK, Selasa (27/1). Wahiddun didampingi Muhammad Alim dan Suhartoyo selaku anggota majelis panel.
“Aturan bimbingan haji oleh masyarakat juga tidak jelas, karena praktiknya KBIH menarik biaya bimbingan haji sendiri di luar dari setoran BPIH. Sebab, kebanyakan jemaah haji bukan orang kaya raya, tetapi karena terpanggil hatinya dan siap menabung.”
Karenanya, para pemohon meminta agar pasa-pasal itu dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Misalnya, Pasal 4 ayat (1) UU PIH bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “kecuali bagi orang Islam yang sudah menjalankan ibadah haji. Selain itu, Pasal 5 UU PIH dimaknai setiap orang yang mendaftarkan haji daftar tunggu wajib membayar BPIH (setor awal haji), tabungan haji, atau cicilan haji.