DPR Didesak Tuntaskan Masalah Outsourcing BUMN
Berita

DPR Didesak Tuntaskan Masalah Outsourcing BUMN

Hasil Panja sebelumnya tetap jadi rujukan.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Achmad Ismail, Koordinator Geber BUMN (kemeja kuning) saat bertandang ke Redaksi Hukumonline, Rabu (8/10). Foto: ENI
Achmad Ismail, Koordinator Geber BUMN (kemeja kuning) saat bertandang ke Redaksi Hukumonline, Rabu (8/10). Foto: ENI
Buruh alih daya atau outsourcing yang tergabung dalam Gerakan Bersama (Geber) BUMN menyambangi sejumlah anggota Komisi IX dan VI DPR untuk menuntaskan masalah berlarut-larut penggunaan tenaga alih daya di BUMN.

Menurut koordinator Geber BUMN, Achmad Ismail, upaya itu dilakukan untuk mendorong penuntasan masalah outsourcing di BUMN. Sekaligus mendesak DPR menggelar rapat gabungan Komisi IX dan VI DPR dengan Menteri Ketenagakerjaan, Menteri BUMN, Kejaksaan Agung, direksi-direksi BUMN serta Geber BUMN.

Pria yang disapa Ais itu menjelaskan rapat gabungan itu telah disepakati dalam rapat kerja beberapa waktu lalu di Komisi IX DPR. Rencananya, rapat gabungan itu diselenggarakan 2 Februari 2015. Tapi karena ada pihak terkait yang tidak bisa hadir, rapat gabungan itu ditunda sampai waktu yang belum dapat ditentukan.

Guna mendesak DPR agar rapat gabungan itu segera diselenggarakan, belasan perwakilan Geber BUMN menyambangi sejumlah anggota DPR. “Kami kecewa rapat gabungan itu batal. Kami minta itu segera diujudkan karena menyangkut nasib ribuan pekerja outsourcing di BUMN,” katanya dalam audiensi dengan anggota Komisi IX DPR dari Partai Nasdem, Amelia Anggraini, di gedung DPR, Senin (2/2).

Sambil mengupayakan digelarnya rapat gabungan, Ais mengusulkan agar Komisi IX terus memperjuangkan nasib pekerja outsourcing di BUMN. Terutama yang diputus hubungan kerjanya (PHK).

Pengacara publik LBH Jakarta, Wirdan Fauzi, menambahkan salah satu akar masalah kisruhnya praktek outsourcing adalah absennya keterlibatan pemerintah dan serikat pekerja dalam menentukan jenis pekerjaan inti dan penunjang. Peraturan yang ada saat ini memberi kebebasan kepada asosiasi sektor usaha untuk menentukan mana jenis pekerjaan penunjang sehingga bisa dialihdayakan.

“Makanya sering terjadi penyelewengan dalam implementasinya karena penentuan jenis pekerjaan inti dan penunjang tidak melibatkan pemerintah dan serikat pekerja,” urai Wirdan.

Modus lainnya, dikatakan Wirdan, yakni melakukan outsourcing lewat mekanisme pemborongan pekerjaan. Dengan begitu, pekerjaan inti diborongkan kepada perusahaan lain. Hal itu dilakukan BUMN dengan alasan sudah sesuai aturan. Berbagai masalah outsourcing itu diperburuk lemahnya pengawasan pemerintah.

Menanggapi usulan itu Amelia mengatakan secara umum Komisi IX menjadikan rekomendasi Panja outsourcing BUMN sebagai acuan menyelesaikan persoalan outsourcing di BUMN. Dalam rapat kerja dengan Kementerian dan BUMN terkait, Komisi IX juga selalu menanyakan penuntasan masalah outsourcing di BUMN.

Amelia menyadari ada persoalan dalam praktik outsourcing di BUMN. Misalnya, pekerja outsourcing dikontrak berulang-ulang bahkan ada yang sampai belasan tahun dan dipekerjakan pada pekerjaan inti. Alih-alih mengangkat pekerja outsourcing menjadi tetap, perusahaan outsourcing atau BUMN yang bersangkutan malah melakukan PHK. “Praktek outsourcing yang terjadi di BUMN seperti itu. Mereka tidak komitmen terhadap kesepakatan (rekomendasi) Panja outsourcing BUMN,” ujarnya.

Bahkan, Amelia mencatat ada yang menggunakan sistem seleksi atau tes untuk menyaring pekerja outsourcing. Seperti yang dilakukan BPJS Ketenagakerjaan. Padahal, untuk buruh yang sudah bekerja bertahun-tahun, termasuk yang berstatus outsourcing seleksi itu tidak perlu. Kecuali pekerja tersebut mendapat catatan buruk.
Tags:

Berita Terkait