Dokter Layanan Primer Demi Pelayanan Kesehatan Berkualitas
Berita

Dokter Layanan Primer Demi Pelayanan Kesehatan Berkualitas

DLP dibutuhkan lantaran persoalan kesehatan dunia sudah menjadi rekomendasi dunia kedokteran internasional yang meminta layanan primer harus dikuatkan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Ahli yang dihadirkan Pemerintah Budi Sampurna selaku Guru Besar FKUI dan Gandes Retno Rahayu selaku Dosen FK UGM. Foto: Humas MK
Ahli yang dihadirkan Pemerintah Budi Sampurna selaku Guru Besar FKUI dan Gandes Retno Rahayu selaku Dosen FK UGM. Foto: Humas MK
Guru Besar FK UI Prof. dr. Budi Sampurna menilai Dokter Layanan Primer (DLP) dan uji kompetensi dalam UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran sebenarnya sudah selaras dan tidak tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan lain. Justru, adanya DLP dan uji kompetensi adalah kebutuhan yang tidak terelakkan guna menghasilkan SDM berkualitas dalam meningkatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik dan profesional.

“Aturan itu sesungguhnya untuk melindungi masyarakat dengan pelayanan dokter yang berkualitas,” ujar Budi Sampurna saat memberi keterangan sebagai ahli dari pihak pemerintah dalam sidang lanjutan pengujian UU Pendidikan Kedokteran di gedung MK, Selasa (03/2).

Budi menegaskan pembentukan DLP semata-mata untuk meningkatkan kompetensi dokter sebagai alternatif jenjang karier profesi dokter sesuai Pasal 7 ayat (5) UU Pendidikan Kedokteran. DLP ini merupakan kelanjutan dari program profesi dokter yang jenjangnya setara dengan dokter spesialis, sehingga profesi dokter itu tidak hilang. “Nanti profesi dokter itu, kariernya bisa dibentuk menjadi pendidik, DLP, spesialis, atau peneliti,” ujarnya.

“Ini bentuk penghargaan kepada DLP yang memberi layanan primer, soalnya kita yakin betul negara yang bagus akan meningkatkan pelayanan primernya, sehingga bisa menciptakan masyarakat sehat hingga ke pelosok,” tegasnya.

Dia mengakui pelaksanaan uji kompetensi tidak mengatur secara rinci dalam UU Pendidikan Kedokteran. Namun, uji kompetensi ini mengacu pada Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia (Perkonsil) No. 10 Tahun 2012 tentang Standar Pendidikan Profesi Dokter Indonesia dan PerkonsilNo. 11 Tahun 2012 tentang Standar Kompetensi Dokter Indonesia yang didalamnya mengatur kompetensi yang harus dikuasai DLP.

“Sebenarnya uji kompetensi ini sudah dimulai sejak tahun 2006. Ini menunjukkan dinamika berpikir saat itu berlandaskan UU Praktik Kedokteran dengan pola pikir setelah mahasiswa lulus kedokteran baru diuji,” papar pria yang tercatat sebagai Anggota Dewan Pengawas BPJS Kesehatan ini.

Selain itu, merujuk Perkonsil No. 6 Tahun 2011 disebutkan uji kompetensi merupakan rangkaian satuan pendidikan formal di bidang kedokteran atau kedokteran gigi yang diuji ulang setiap akan melakukan registrasi ulang. Namun, praktiknya belum ada uji kompetensi saat melakukan registrasi uji kompetensi.

Makanya, Pasal 36 UU Pendidikan Kedokteran menyebutkan untuk menyelesaikan profesi dokter atau dokter gigi, mahasiswa harus lulus uji kompetensi yang bersifat nasional sebelum mengangkat sumpah sebagai dokter dan dokter gigi. Menurutnya, aturan ini berarti sudah sangat mirip dengan UU Praktik Kedokteran yang kemudian dirinci lebih detil diatur dalam perkonsil.

“Lulusannya akan mendapatkan sertifikat profesi, bukan sekedar kompetensi. Uji kompetensi diselenggarakan fakultas kedokteran bekerja sama dengan asosiasi kedokteran yang berkoordinasi dengan organisasi profesi. Ini juga praktik yang saat itu dijalankan.

Melengkapi
Hal senada disampaikan ahli pemerintah lainnya, Dosen FK UGM, dr. Gandes Retno Rahayu yang menilai pengaturan pelaksanaan uji kompetensi sebenarnya melengkapi UU Praktik Kedokteranyang sudah ada sebelumnya. “UU Pendidikan Kedokteran mengatur lebih ketat tentang kapan pelaksanaan uji kompetensi, dimana, siapa yang menyelenggarakan?” kata Gandes di hadapan majelis yang diketuai Arief Hidayat.

“Pertanyaan logisnya, jika sudah ada uji kompetensi mengapa kita masih perlu DLP yang setara dengan dokter spesialis?“

Menurut dia, DLP dibutuhkan lantaran persoalan kesehatan dunia sudah menjadi rekomendasi dunia kedokteran internasional yang meminta layanan primer harus dikuatkan. Faktanya, dengan mudah ditemukan dari 1.000 populasi di masyarakat Indonesia, 750 populasi orang dewasa melaporkan pernah mengalami kesakitan. Hanya 250 yang memenuhi layanan kesehatan yang memadai.

“Sebenarnya sebagian besar (sumber penyakit) ada di komunitas, sehingga layanan di komunitas ini perlu dikuatkan. Jadi, penguatan layanan primer ini menjadi penting agar tingkat kesehatan masyarakat lebih baik, pelayanan kesehatan lebih terkendali, dan ada peningkatan kesetaraan pelayanan kesehatan,” katanya.

Lebih jauh, dia mengungkapkan negara yang menerapkan layanan kesehatan primer, angka kematian bayi jauh lebih rendah, harapan hidup lebih tinggi. Dia membandingkan dengan negara-negara tetangga, angka kematian bayi dan angka kematian di Indonesia lebih tinggi daripada mereka. “Di sana seringkali menggunakan istilah dokter keluarga, kita menggunakan istilah DLP.”

Sebelumnya, Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) mempersoalkan sekitar 15 pasal dalam UU Pendidikan Kedokteran terkait uji kompetensi, sertifikasi kompetensi, dan dokter layanan primer. Pasal-pasal itu dinilai menghambat/melanggar akses pelayanan dokter (umum) atas pelayanan kesehatan masyarakat. Sebab, hanya dokter yang berstatus dokter layanan primer yang berhak berpraktik di masyarakat yang diwajibkan mengikuti pendidikan uji kompetensi lagi dengan biaya yang mahal.

Misalnya, Pasal 36 menyebutkan seorang dokter sebelum diangkat sumpah harusmemiliki sertifikat uji kompetensi yang dikeluarkan perguruan tinggi kedokteran atau kedokteran gigi bekerjasama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan organisasi profesi. Aturan itu memunculkan dualisme lembaga penyelenggara uji kompetensi dokter. Uji kompetensi dokter dan sertifikasi kompetensi dokter sebenarnya wewenang Ikatan Dokter Indonesia (IDI) cq kolegium.
Tags:

Berita Terkait