Transparansi Sektor Tambang Masih Temui Banyak Tantangan
Berita

Transparansi Sektor Tambang Masih Temui Banyak Tantangan

Peningkatan transparansi dalam proses perizinan tambang dapat memberikan kepastian untuk mendapatkan skema perjanjian yang paling menguntungkan.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Koordinator Nasional PWYP Maryati Abdullah. Foto: www.publishwhatyoupay.org
Koordinator Nasional PWYP Maryati Abdullah. Foto: www.publishwhatyoupay.org
Kendati telah berhasil meraih status patuh dalam inisiatif global Extractive Industries Transparency Initiative (EITI), nyatanya transparansi penerimaan sektor migas dan tambang di Indonesia masih menemui banyak tantangan. Masalah transparansi ini menyangkut tingkat kepatuhan perusahaan dalam membayarkan kewajiban penerimaan negara. Persoalan transparansi ini juga belum terselesaikan dalam renegosiasi kontrak karya.

Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Maryati Abdullah menengarai, kebanyakan tantangan transparansi ini berwujud mulai dari ketiadaan NPWP, keterlambatan pembayaran, hingga keterlambatan penyampaian bukti setor dalam proses perhitungan dana bagi hasil.
Maryati menuturkan, tidak sedikit tantangan yang dihadapi dalam memenuhi ekspektasi publik dan daerah penghasil migas seperti informasi lifting yang real-time, efisiensi dan efektifitas cost recovery, serta transparansi penjualan minyak mentah bagian negara dan pengadaan minyak mentah untuk kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM).

"Belum lagi tanggung jawab sosial dan lingkungan seperti pembayaran penjamin dana reklamasi dan paska-pelabuhan pengapalan bahan tambang dan eskpor yang belum terawasi dengan baik," kata Maryati dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (4/2).

Oleh karena itu, pihaknya mendorong pemerintah untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas ini. Tak tanggung-tanggung, pencegahan tindak pidana korupsi pun telah dilakukan KPK bersama Dirjen Minerba. Koordinasi dan supervisi itu telah dilakukan di 12 provinsi penghasil mineral dan batu bara di Indonesia.

Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada, Poppy Ismalina mengingatkan bahwa transparansi dan akuntabilitas merupakan dua hal kunci dalam pengelolaan sumber daya alam. Ia mengatakan, pengalaman dari banyak negara menunjukkan  bahwa pengelolaan sumber daya alam yang disertai transparansi dan akuntabilitas telah berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi secara luas. Tak hanya itu, risiko korupsi dan konflik juga mampu diturunkan.

“Berdasarkan survei Indeks Tata Kelola Sumber Daya Alam atas 58 negara, keuntungan dari sektor ekstraktif di negara-negara tersebut mencapai total $2,6 triliun pada tahun 2010. Namun, sesungguhnya, banyak negara yang melewatkan peluang mendapatkan manfaat dari kekayaan sumber daya alam akibat kesalahan manajemen dan korupsi,” katanya.

Lebih lanjut Poppy menekankan bahwa status kepatuhan Indonesia terhadap inisiatif EITI memiliki arti penting atas transparansi dan akuntabilitas. Ia menyebut, seharusnya informasi penting dalam jumlah yang signifikan terkait industri ekstraktif dapat diakses oleh publik. Selain itu, posisi Indonesia sebagai ketua Kemitraan Pemerintahan Terbuka atau Open Government Partnership (OGP) sampai dengan Oktober 2014 lalu juga membawa dampak untuk sektor migas dan tambang.

“Kebijakan dan tindakan besar masih menjadi agenda pemerintah Jokowi-JK, yaitu mendorong transparansi yang lebih tinggi di setiap tahapan pengelolaan sumber daya migas dan mineral,” tambahnya.

Untuk itu menurut Poppy, pemerintah Jokowi-JK harus melengkapi kemajuan yang telah dihasilkan dengan keterbukaan dan pengungkapan informasi yang meluas. Hal ini pneting untuk mengurangi risiko korupsi dan kesalahan pengelolaan. Tujuan akhirnya adalah maksimilisasi manfaat yang didapat negara dari kekayaan SDA milik Indonesia.

Poppy melihat, hukum Indonesia untuk sektor migas mewajibkan pemerintah memberikan hak partisipasi dalam kontrak migas melalui proses yang kompetitif. Menurutnya, hal ini telah sejalan dengan praktik terbaik secara internasional. Ia juga menilai bahwa Pemerintah Indonesia telah membuka informasi mengenai persyaratan lelang serta penjelasan atas pilihan pemenang lelang.

Namun ia menegaskan, hal tersebut tidaklah cukup. Ia mengatakan bahwa upaya tersebut harus disertai dengan pemberian perizinan atas dasar urutan pengajuan (first come-first served), terutama untuk sektor tambang. Pasalnya, Poppy melihat bahwa secara umum, informasi yang tersedia untuk publik tentang proses perizinan tambang masih sangat sedikit.

“Sementara itu, peningkatan transparansi dalam proses perizinan sektor tambang dapat memberikan kepastian untuk mendapatkan skema perjanjian yang paling menguntungkan bagi pemerintah,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait