Konvensi Montreal: Dibutuhkan Penumpang, Ditakuti Negara
Liputan Khusus Penerbangan:

Konvensi Montreal: Dibutuhkan Penumpang, Ditakuti Negara

Penumpang korban kecelakaan pesawat terbang bisa mendapat nilai yang lebih besar bila Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Montreal.

Oleh:
RIA
Bacaan 2 Menit
Maskapai penerbangan. Foto: SGP (Ilustrasi)
Maskapai penerbangan. Foto: SGP (Ilustrasi)
Insiden AirAsia QZ8501 membuka kembali sebuah fakta lama, yakni Indonesia belum meratifikasi Convention for the Unification of Certain Rules for International Carriage by Air atau singkatnya Konvensi Montreal. Fakta ini dinilai merugikan penumpang, karena penumpang bisa memperoleh hak lebih besar (terutama terkait asuransi) bila Indonesia sudah ratifikasi konvensi ini.

Hingga saat ini, konvensi internasional yang masih menjadi pegangan Indonesia untuk mengatur mengenai ketentuan pengangkutan udara internasional adalah Konvensi Warsawa 1929. Konvensi ini diratifikasi Indonesia melalui Staatblaad 100: 1939 sejak zaman Kolonial Belanda dan tetap dinyatakan berlaku hingga sekarang.

Padahal, bila Konvensi Montreal ini diratifikasi Indonesia, maka penumpang pesawat di wilayah Indonesia bisa memperoleh ganti kerugian terhadap penumpang, bagasi, dan kargo yang jadi tanggung jawab maskapai, lebih tinggi dibandingkan aturan di Konvensi Warsawa.

Berdasarkan penelusuran Hukumonline.com, berikut perbandingan nilai pertanggungan yang menjadi tanggung jawab pengangkut udara internasional:
Konvensi Warsawa 1929 Konvensi Montreal 1999
Penumpang 125,000 francs
jumlah ini senilai dengan 20,000 dolar
100,000 SDR (nilai mata uang International Monetary Fund,-red)
jumlah ini senilai dengan 140,000 dolar (atau sekira Rp 1,7 miliar)
Bagasi 5,000 francs
Jumlah ini diberikan tanpa memerhatikan berat bagasi penumpang
1,000 SDR
Apabila sedari awal penumpang telah memberi  tahu nilai bagasi, maskapai dapat membayar ganti kerugian tambahan
Kargo 250 francs perkilogram 17 SDR perkilogram

Selain tiga hal di atas, Konvensi Montreal juga mengatur nilai pertanggungan atas kerugian yang disebabkan oleh keterlambatan keberangkatan sebesar 4150 SDR. Besarnya nilai pertanggungan ini lah yang disinyalir beberapa Dosen Hukum Udara dan Angkasa menjadi penyebab belum diratifikasinya Konvensi Montreal oleh Pemerintah Indonesia.

“Dugaan saya Indonesia belum meratifikasi Konvensi Montreal, karena ada beberapa elemen-elemen penting di dalam Konvensi Montreal yang dirasakan masih sulit diterapkan oleh Indonesia. Misalnya saja tentang besar ganti rugi,” sampai Ayu Nrangwesti, Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti (FH USAKTI).

Hal serupa disampaikan oleh Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Hadi Rahmat. “Ditakutkan penggantian terlalu besar itu bisa menyebabkan banyak orang tidak mau masuk ke bisnis penerbangan. Mungkin itu kaitannya,” ujarnya kepada Hukumonline.com, Kamis (22/1).

Hadi menjelaskan, untuk meratifikasi Konvensi Montreal ini, ada dua sisi yang harus dilihat. Selain tentang perlindungan penumpang, Hadi menyebutkan perlu dilihat juga perusahaan penerbangan di Indonesia yang belum cukup berkembang dan maju. “Kalau kita meratifikasi Montreal itu akan mempunyai pengaruh terhadap perkembangan bisnis dari penerbangan itu sendiri,” ujarnya.

Namun, Dosen Hukum Udara dan Angkasa Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH UNAIR) Adhy Riadhy Arafah punya pandangan berbeda. Ia menyatakan bahwa hambatan Indonesia belum meratifikasi Konvensi Montreal adalah Pasal 33 yang menyangkut yurisdiksi pengajuan gugatan.   

“Saya pernah menjadi penasihat hukum pemerintah. Jadi salah satu alasannya ketika itu, yang masih digodok itu adalah Pasal 33. Teman-teman Leiden yang terlibat di dalamnya juga menginformasikan hal yang sama,” tutur lulusan master hukum udara dari Universitas Leiden Belanda ini.

Pasal 33 ayat (1) Konvensi Montreal berbunyi, “In respect of damage resulting from the death or injury of a passenger, an action may be brought before one of the courts mentioned in paragraph 1 of this Article, or in the territory of a State Party in which at the time of the accident the passenger has his or her principal and permanent residence.”

Adhy menjelaskan yurisdiksi dalam ketentuan Konvensi Montreal Pasal 33 ayat (1) ini memungkinkan penumpang untuk menggugat maskapai penerbangan berdasarkan status kependudukannya. Misalnya, bila ada kerugian yang terjadi dalam penerbangan rute Jakarta – Singapura dengan maskapai penerbangan Indonesia dan terdapat korban Warga Negara Amerika Serikat, maka orang tersebut dapat menggugat maskapai penerbangan ke Pengadilan Amerika Serikat.

Inilah, menurut Adhy, yang menjadi satu-satunya alasan pemerintah Indonesia belum meratifikasi Konvensi Montreal. Padahal, lanjutnya, Pemerintah Indonesia sudah sejak lama mengkaji Konvensi Montreal.

Adhy melanjutkan, “Kalau memang alasannya terkait nilai kompensasi, saya rasa airlines kita sudah sanggup kok untuk memberikan nilai kompensasi segitu. Maskapai kita Garuda Indonesia itu setahu saya siap memberikan kompensasi sesuai dengan Montreal. Karena itu juga termasuk dari daya tawar airlines.”

Tidak hanya terkait nilai pertanggungan, Konvensi Montreal juga sudah membebankan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) kepada maskapai-maskapai penerbangan yang menyelenggarakan penerbangan internasional.

Guru Besar Sekolah Tinggi Manajemen Transportasi Trisakti  Prof. K. Martono dalam bukunya yang berjudul ‘Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Perjanjian Internasional di Bidang Perhubungan Udara’ menyebutkan, “prinsip tanggung jawab mutlak yang terdapat dalam Konvensi Montreal ini meniadakan kemungkinan terjadinya perbedaan pemberlakukan prinsip tanggung jawab tentang penumpang.”

Diyakini bersama oleh para dosen di atas, Indonesia memiliki urgensi untuk meratifikasi Konvensi Montreal sebagai bentuk perlindungan negara terhadap penumpang. Hal-hal yang diatur dalam Konvensi Warsawa dinilai sudah tertinggal jauh. Mengenai kompensasi pun dipandang sudah tidak mengikuti layak hidup, begitu pula mengenai prinsip praduga bersalah (presumption of liability) yang sudah diganti menjadi strict liability dinilai akan lebih memberi kepastian kepada penumpang penerbangan internasional.

“Ini menjadi urgen juga untuk bisa mendorong maskapai-maskapai penerbangan untuk memenuhi standar internasional yang ada,” pungkas Hadi.
Tags:

Berita Terkait