Ingat! TAP MPR tentang Etika Berbangsa Masih Berlaku
Berita

Ingat! TAP MPR tentang Etika Berbangsa Masih Berlaku

Orang berstatus tersangka tidak layak jadi pejabat publik.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Refly Harun. Foto: RES
Refly Harun. Foto: RES
Mengangkat dan memberhentikan Kapolri adalah hak prerogatif presiden. Pengacara juga boleh mengusulkan agar Budi Gunawan (BG) tetap dilantik jadi Kapolri. Tetapi aparat pemerintah seharusnya memperhatikan etika berbangsa dan bernegara. Dengan logika ini, Presiden Jokowi perlu memilih calon Kapolri yang bersih, berintegritas dan jujur.

Pengamat hukum tata negara, Refly Harun, mengingatkan TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa masih berlaku. Ada pula TAP No. XI/MPR/1998 yang mengamanatkan penyelenggaraan negara yang bersih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. TAP No. VI terbit 9 November 2001 silam.

Pasal 3 TAP MPR No. VI/2001 merekomendasikan kepada Presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara serta masyarakat untuk melaksanakan TAP ini sebagai ‘acuan dasar dalam kehidupan berbangsa’. Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai; atau dianggap tidak mampu memenuhi amanat masyarakat, bangsa, dan negara.

Misinya adalah agar setiap pejabat publik dan elit politik bersikap juur, amanah, sportif dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan.

Menurut Refly, etika berada di atas hukum karena etika adalah sebuah kebajikan yang nilainya tertinggi. Karena itu, sudah menjadi etika seseorang yang berstatus tersangka tidak layak diangkat menjadi pejabat publik. “Siapapun orangnya, kalau dia dalam status tersangka, maka tidak layak diangkat jadi pejabat publik,” paparnya.

Tapi jika Presiden Jokowi dan koalisi parpol pendukungnya yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) tetap memaksakan seseorang yang sudah ditetapkan tersangka jadi Kapolri, citra mereka bisa buruk di mata masyarakat. Popularitas Presiden Jokowi dan parpol pendukungnya bisa merosot.

Bahkan Presiden Jokowi bisa dianggap lebih buruk dari Presiden SBY. Sebab, di masa pemerintahan SBY tercatat ada tiga Menteri yang ditetapkan jadi tersangka mundur dari jabatannya, yakni Andi Alfian Mallarangeng, Suryadharma Ali dan Jero Wacik.

Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, mengatakan konflik KPK-Polri diawali dari ketidakcermatan Presiden Jokowi mencalonkan BG sebagai Kapolri. Akibatnya, polemik mencuat ketika BG ditetapkan KPK sebagai tersangka. Ujungnya, sampai pada kriminalisasi yang menimpa pimpinan KPK.

Sekalipun ada pengamat yang menyebut pencalonan BG itu karena Jokowi diintervensi partai politik (parpol) pendukungnya, Dahnil menilai itu sebagai hal yang wajar. Menurutnya, persoalan ada pada Presiden Jokowi yang tidak berani bertindak sesuai hati nuraninya.

“Ketika awal mencalonkan diri sebagai Presiden, Jokowi berniat mau membentuk pemerintahan yang bersih. Ia pun berjanji ketika mau mengangkat pejabat publik harus orang yang komitmen terhadap pemberantasan korupsi,” kata Dahnil dalam jumpa pers yang digelar YLBHI di Jakarta, Kamis (05/2).

Sayangnya, komitmen itu tidak terlihat dalam pencalonan BG sebagai calon Kapolri. Dahnil melihat sebelum mencalonkan BG Presiden Jokowi sudah diperingati oleh sejumlah pihak termasuk KPK. Sialnya, BG malah diajukan sebagai calon tunggal Kapolri oleh Presiden Jokowi.

Polemik pencalonan BG sebagai Kapolri pun menurut Dahnil sudah meluas jadi permainan politik karena pencalonan itu sudah dibahas di DPR. Kemudian, DPR merestui BG. “Kami secara tegas menolak pencalonan BG sebagai Kapolri dan Jokowi harus tunjukan komitmennya dalam pemberantasan korupsi,” ujarnya.

Jika Presiden Jokowi mengganti BG dengan calon lain, Dahnil mengingatkan agar orang yang dipilih bukan yang “sejenis” atau bermasalah. Ia melihat saat ini nama Kabareskrim, Budi Waseso, disebut-sebut sebagai salah satu nama yang berpotensi dicalonkan sebagai calon Kapolri. Ia pun menegaskan PP Pemuda Muhammadiyah menolak pencalonan Budi Waseso sebagai calon Kapolri. “Dia melakukan kriminalisasi terhadap pimpinan KPK,” urainya.

Wakil Ketua YLBHI, Gatot Rianto, berpendapat Presiden Jokowi harus mengambil sikap tegas dalam menuntaskan konflik KPK-Polri. Presiden harus menunjukan kalau dia tidak berada dibawah kendali siapapun. Dalam menuntaskan persoalan yang ada Presiden Jokowi perlu melakukan konsolidasi politik yang baik. Termasuk mendengarkan suara masyarakat sipil anti korupsi.

Terkait pencalonan Kapolri, Gatot mengingatkan orang yang akan menduduki sebuah jabatan publik harus memenuhi berbagai syarat diantaranya tidak tersangkut masalah hukum seperti korupsi. Ia pun menekankan kepada Kompolnas untuk mengusulkan nama-nama calon Kapolri yang bersih, jujur dan berintegritas. “Kalau Presiden Jokowi melantik BG itu akan menjadi persoalan besar. Jokowi jangan lantik BG,” tegasnya.
Tags:

Berita Terkait