Qanun Hukum Jinayah, Kitab Pidana ala Serambi Mekkah
Fokus

Qanun Hukum Jinayah, Kitab Pidana ala Serambi Mekkah

Aceh sudah mengundangkan Qanun Hukum Jinayah. Berlaku setahun setelah diundangkan. Hukum acaranya pun sudah tersedia.

Oleh:
MYS/ASH
Bacaan 2 Menit
Bentuk sosialisasi Qanun Jinayah di salah satu sudut jalan raya di Banda Aceh. Foto: MYS
Bentuk sosialisasi Qanun Jinayah di salah satu sudut jalan raya di Banda Aceh. Foto: MYS
Gelap mulai menyelimuti Jalan Raya Banda Aceh-Meulaboh, Minggu (18/1), saat hukumonline menyusuri kawasan pantai mulai dari Gampong Pulot menuju Pantai Lhoknga. Maghrib sudah menjelang. Beberapa pasangan muda mudi masih asyik berduaan; ada yang di atas motor, ada juga di gubuk yang tersedia di bibir pantai. Lokasi ini tak jauh dari lokasi tembak menembak aparat Polri-TNI dengan terduga teroris, Maret 2010, di kawasan Leupung.

Jika tertangkap petugas dan terbukti melanggar ‘batas’, muda-mudi yang bukan muhrim bisa terancam hukuman. Sudah menjadi hukum yang berlaku khusus di Aceh, larangan bagi pasangan yang bukan muhrim berdua-duaan di tempat gelap atas kerelaan kedua belah pihak. Perbuatan ini disebut khalwat. Selain khalwat, ada lagi larangan melakukan perbuatan pidana yang disebut maisir dan meminum khamar.

Larangan ber-khalwat dan batas-batas lain itulah yang ditentukan dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah. Qanun ini disetujui Pemprov dan DPRA pada 27 September 2014 lalu, dan mulai berlaku satu tahun kemudian. Saat hukumonline berkunjung ke Aceh tak ada tanda-tanda eksplisit penolakan atas Qanun Hukum Jinayah itu.

Suara penolakan justru datang dari Jakarta. Ketika masih berbentuk Raqan – begitulah media Aceh menyebut rancangan qanun—Komnas Perempuan menyampaikan kekhawatirannya atas Qanun Jinayah. Meskipun menghormati kewenangan khusus pemerintah Aceh melaksanakan syariat Islam, Komnas Perempuan tetap merasa perlu mengingatkan konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Yang dikhawatirkan adalah ekses pelaksanaan qanun jinayah. Komnas menilai qanun jinayah sebangun dengan berbagai kebijakan daerah lainnya yang diskriminatif atas nama agama dan moralitas.

“Komnas Perempuan secara khusus prihatin bahwa qanun ini menghilangkan hak perlindungan hukum bagi perempuan dan anak korban kekerasan seksual,” demikian pernyataan resmi Komisi ini tak lama setelah Qanun Hukum Jinayah disetujui untuk disahkan.

Komnas Perempuan meminta pemerintah Aceh menunda sosialisasi dan mengkaji kembali keberadaan qanun agar sejalan dengan grand design pelaksanaan syariat Islam. Tetapi kepada pemerintah pusat, Komnas berharap agar qanun jinayat dibatalkan, seraya berharap ada peneguhan integritas hukum nasional dan wawasan kebangsaan.

Kekhawatiran Komnas Perempuan tentang ruh nasionalisme Qanun Jinayah dijawab Faisal A. Rany. Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Unsyiah Banda Aceh ini menyampaikan panjang lembar konstitusionalitas qanun dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional yang diselenggarakan Komisi Hukum Nasional, 3 Desember 2014 lalu. Ia mengingatkan konsep negara kesatuan tak mengingkari diversitas, Bhinneka Tunggal Ika.

“Dalam sistem perundang-undangan nasional disebutkan qanun merupakan peraturan daerah di Aceh yang menjadi bagian dari sistem hukum nasional,” jelasnya.

Setidaknya pelaksanaan syariat Islam di Aceh diamanatkan dalam beberapa Undang-Undang. Ada UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh; UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; dan UU Nomor 48 Tahun 2007 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Sumatera Utara Sebagai Undang-Undang.

Apa yang disampaikan Prof. Faisal juga termaktub dalam konsiderans Qanun Aceh tentang Hukum Jinayah. ‘Bahwa Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki keistimewaan dan otonomi khusus, salah satunya kewenangan untuk melaksanakan syariat Islam, dengan menjunjung tinggi keadilan, kemaslahatan, dan kepastian hukum’. Ia mengingatkan qanun ditetapkan oleh instansi bentukan negara, sehingga produk hukum lembaga itu juga sah dan mengikat secara hukum.

Akademisi FH Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, juga menilai tak ada persoalan dengan qanun. “Qanun itu setara dengan Perda yang didasarkan pada Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh, sehingga tidak ada masalah,” ujarnya kepada hukumonline (15/1).

Pembentukan Qanun
Qanun adalah peraturan perundang-undangan setingkat Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. Itu kata Pasal 1 angka 21 UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Qanun Hukum Jinayah dikeluarkan pemerintahan provinsi, sehingga berlaku untuk seluruh wilayah Aceh.

Proses pembentukan qanun ini tetap tunduk pada ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Naskahnya dibahas bersama pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Eksekustif dan legislatif akhirnya setuju mengesahkan rancangan itu menjadi qanun.

UU Nomor 12 Tahun 2011 juga menyinggung tentang qanun. Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf f menegaskan ‘termasuk dalam Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Provinsi Aceh dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) serta Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang berlaku di Provinsi Papua dan Papua Barat’. Ketentuan senada untuk qanun kabupaten/kota disebutkan dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf g.

Prof. Syahrial Abbas, Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, juga menyinggung masalah ini saat memberi pengantar untik buku Qanun Aceh No. 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat. “Penyusunan produk hukum syariah dan pemberlakuannya di Aceh berada dalam bingkai sistem hukum nasional. Positivikasi norma hukum dari al-Qur’an dan as-Sunnah ke dalam Qanun Aceh dilakukan melaui proses legislasi (taqnin), yang melibatkan Gubernur Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sebagai pemegang otoritas pembentuk Qanun Aceh,” tulisnya.

Qanun Jinayah
Nama lengkapnya Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah, lazim disebut Qanun Jinayah. Jinayah itu secara umum disebut pidana. Jadi, qanun jinayah bisa disebut Perda tentang Hukum Pidana.

Kehadiran qanun jinayah yang bersifat materiil ini telah ditopang hukum acara karena sebelumnya Aceh juga sudah memiliki Qanun Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat.

Sebenarnya, jauh sebelumnya, bahkan sebelum bencana tsunami menerpa, Provinsi Aceh sudah memiliki tiga qanun mengenai jinayah. Pertama, Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar dan Sejenisnya. Kedua, Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir. Ketiga, Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat. Oleh Qanun Nomor 6 Tahun 2014, ketiga qanun ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Qanun Hukum Jinayah terbaru didasarkan pada asas keislaman, legalitas, keadilan dan keseimbangan, kemaslahatan, perlindungan HAM, dan pembelajaran kepada masyarakat (tadabbur). Dan pada 29 September 2014, Qanun Jinayah disahkan secara aklamasi dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

Seperti peribahasa Aceh hukom nanggro keupakaian, hukom Tuhan keu kulahkama. Hukum negara untuk ‘pakaian’, hukum Tuhan untuk ‘mahkota’.
Tags:

Berita Terkait