Revisi Permenaker Outsourcing Buka Peluang Modal Asing
Berita

Revisi Permenaker Outsourcing Buka Peluang Modal Asing

Izin operasional perusahaan outsourcing asing dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Menaker Hanif Dhakiri (baju putih). Foto: RES
Menaker Hanif Dhakiri (baju putih). Foto: RES
Menteri Tenaga Kerja M. Hanif Dhakiri sudah menerbitkan beleid baru tentang tenaga alih daya. Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain diperbarui dengan Permenaker No. 27 Tahun 2014, diteken Menteri pada 31 Desember 2014.  

Perubahan itu dinilai Timboel Siregar membuka peluang masuknya modal asing ke bisnis alih daya di Indonesia. Menurut Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) ini, Permenaker 27/2014 tak menjamin perlindungan penuh atas pekerja alih daya atau outsourcing.
“Revisi Permenakertrans No.19 Tahun 2012 menjadi Permenaker No.27 Tahun 2014 tidak akan menjamin terlindunginya hak-hak pekerja outsourcing. Malah akan membuka lebih lebar peluang eksploitasi terhadap pekerja outsourcing,” Kata Timboel di Jakarta, Senin (09/2).

Diakui Timboel, Permenakertrans sebelumnya, No. 19 Tahun 2012 juga belum mampu menjamin pemenuhan hak-hak pekerja outsourcing. Faktanya, pelanggaran normatif terhadap pekerja outsourcing terus berlangsung akibat penegakan hukum lemah. Pengawas ketenagakerjaan terkesan enggan mengawal pelaksanaan Permenakertrans No. 19 Tahun 2012.

Selain tidak menjamin hak-hak pekerja outsourcing, kata Timboel, Permenaker yang baru juga membuka peluang bagi asing untuk masuk. Ia menduga beleid baru ini adalah kebijakan pemerintah mengantisipasi pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Di era MEA nanti, pekerja asing memang akan lebih mudah bekerja di Indonesia, salah satu pintu masuknya adalah melalui perusahaan-perusahaan outsourcing asing.

Ketua Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI), Wisnu Wibowo, menilai Permenaker No. 27 Tahun 2014 mempertegas bisnis penyediaan jasa outsourcing itu bisa dilakukan perusahaan penanaman modal asing (PMA). Namun, ia melihat ada diskriminasi dalam aturan tersebut, khususnya mengenai penerbitan izin operasional.

Untuk perusahaan outsourcing asing, izin operasionalnya hanya lewat Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Sebaliknya untuk perusahaan outsourcing lokal, izin operasional lewat dinas ketenagakerjaan di setiap provinsi dimana pekerjaan itu diperoleh. “Kalau mengacu ketentuan Permenaker No. 27 Tahun 2014 itu terlihat ada perlakuan yang tidak fair terkait perizinan,” papar Wisnu.

Selain masalah perizinan, Wisnu berpendapat masuknya perusahaan outsourcing asing bakal melemahkan kedaulatan pekerja lokal. Sebab perusahaan outsourcing asing dapat mengelola pekerja outsourcing lokal.

UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, memang membuka peluang perusahaan asing hadir di Indonesia dalam rangka membuka lapangan kerja yang lebih luas di Indonesia. Namun Timboel khawatir perusahaan outsourcing asing yang beroperasi di Indonesia tidak akan membuka lapangan kerja. Sebab, yang membuka lapangan kerja itu justru perusahaan pengguna outsourcing (user). Karena itu menilai Permenaker No. 27 Tahun 2014 bertentangan dengan UU Penanaman Modal.

Timboel menilai penerbitan izin operasional perusahaan outsourcing lewat BKPM dinilai tidak tepat. Sebaiknya, penerbitan izin itu dilakukan oleh dinas ketenagakerjaan seperti diatur Permenakertrans No. 19 Tahun 2012. Sebab, dinas ketenagakerjaan punya pengetahuan dan kewenangan di bidang ketenagakerjaan khususnya soal pengawasan.

Ketika perusahaan outsourcing itu melanggar peraturan maka dengan pengawasan yang tegas, dinas ketenagakerjaan bisa mencabut izin operasional perusahaan outsourcing yang bersangkutan. Tidak punya perangkat pengawasan ketenagakerjaan, BKPM dikhawatirkan sulit menindak perusahaan outsourcing yang melakukan pelanggaran di bidang ketenagakerjaan. “Artinya perusahaan outsourcing asing akan sulit dicabut izinnya,” tukas Timboel.

Salah satu masalah yang sering terjadi dalam praktik outsourcing adalah perusahaan outsourcing kabur atau tidak mau bertanggungjawab untuk menuntaskan persoalan pekerja outsourcing. Termasuk memenuhi hak-hak pekerja outsourcing sekalipun sudah ada putusan pengadilan. Jika perusahaan outsourcing asing melakukan hal serupa, maka pemilik perusahaan mudah kabur ke luar negeri meninggalkan masalah yang ada.

“Seperti PT. ISKI (perusahaan outsourcing,-red) melakukan PHK sepihak terhadap 30 pekerja outsourcing, putusan pengadilan (PHI dan MA,-red) menghukum perusahaan membayar pesangon sekitar Rp600 juta. Tapi pemilik perusahaan malah kabur,” tukas Timboel.

Lebih lanjut, Timboel juga menuding pembahasan Permenakertrans No. 27 Tahun 2014 itu tidak melibatkan Lembaga Kerjasama (LKS) Tripartit Nasional. Harusnya dalam merumuskan kebijakan ketenagakerjaan, pemerintah khususnya Kementerian ketenagakerjaan membahasnya dalam LKS Tripartit Nasional yang terdiri dari perwakilan pemerintah, pekerja dan pengusaha. “Permenaker No. 27 Tahun 2014 cacat formil (prosedural),” ucapnya.

Dari berbagai argumentasi itu Timboel mendesak Menaker membatalkan Permenaker No. 27 Tahun 2014. Menaker harus fokus membenahi outsourcing dengan disertai pengawasan yang tegas, serta memperketat izin perusahaan outsourcing.
Tags:

Berita Terkait