Eksekusi Mati, Ketegasan Palsu Pemerintahan Jokowi
Utama

Eksekusi Mati, Ketegasan Palsu Pemerintahan Jokowi

Negara yang masih membolehkan hukuman mati jumlahnya minoritas, tinggal 57 negara. Indonesia salah satunya.

Oleh:
ROFIQ HIDAYAT
Bacaan 2 Menit
Presiden Jokowi dalam acara Rakornas Darurat Narkoba, di Hotel Bidakara, Jakarta. Foto: Setkab RI
Presiden Jokowi dalam acara Rakornas Darurat Narkoba, di Hotel Bidakara, Jakarta. Foto: Setkab RI
Dalam waktu dekat, pemerintahan Joko Widodo bakal melaksanakan eksekusi hukuman mati terhadap sejumlah terpidana mati. Sinyalemen itu belakangan kian menguat dari gedung korps adhyaksa. Setidaknya, Kejaksaan Agung sebagai eksekutor masih memiliki ‘stok’ puluhan terpidana mati yang bakal meregang nyawa oleh peluru panas regu tembak. Meski pelaksanaan hukuman mati menuai kritik dari dunia internasional, pemerintahan Joko Widodo bergeming.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Alvon Kurnia Palma, berpandangan kritikan dari dunia internasional mestinya diperhatikan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Bahkan, beberapa negara telah menarik duta besarnya atas sikap pemerintah Jokowi  yang melaksanakan hukuman terhadap enam terpidana mati di awal Januari lalu.

“Pemerintahan Jokowi mustinya menyadari bahwa dalam konteks hubungan internasional, ada konsekuensi di mana Indonesia tidak lagi memiliki legitimasi untuk melindungi atau membela TKI yang dihukum mati di negara lain,” ujarnya melalui siaran pers kepada hukumonline.

Dikatakan Alvon, masyarakat kebanyakan cenderung bersikap retribusionis dalam hal penghukuman. Namun begitu, negara berkewajiban membangun kesadaran hukum dan berkeadilan sesuai norma kemanusiaan yang adil dan beradab, serta hak asasi manusia. ‘Alih-alih membangun peradaban hukum masyarakat, Jokowi malah memanfaatkannya demi tujuan politik populisnya,” katanya.

Lebih lanjut Alvon mengatakan argumentasi moral dan etik menjadi dasar penghapusan hukuman mati. Namun terdapat aspek yang mesti dipahami Jokowi. Yakni, kata Alvon, fakta bahwa sistem peradilan pidana masih jauh dari sempurna, bahkan masih amat korup. Menurutnya buruknya sistem peradilan pidana berpotensi disalahgunakan dengan menggunakan kekerasan dan kekuasaan. Nah, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) amatlah dimungkinkan dalam penegakan hukum oleh aparat.

“Kita pasti ingat peristiwa tahun 2008 yang menimpa Imam Hambali dan David Eko Priyanto yang dinyatakan bersalah dan divonis 12 dan 17 tahun penjara. Mereka berdua divonis sebagai pembunuh Asrori. Namun belakangan terdapat fakta baru bahwa Asrori merupakan salah satu korban pembunuhan berantai yang dilakukan oleh Verry Idham Heryansyah alias Ryan,” katanya.

Menurutnya, langkah penting yang segera dilakukan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan mengeluarkan kebijakan moratorium pelaksanaan hukuman mati. Selanjutnya, kebijakan tersebut mesti ditindaklanjuti dengan penghapusan sejumlah pasal yang masih memberlakukan hukuman mati.

Tak hanya itu, pemerintah dan DPR pun mesti membenahi sistem peradilan pidana, seperti halnya merevisi KUHAP dan KUHP serta perundangan yang terkait dengan pidana. “Ketidaktegasan Jokowi dalam menuntaskan perseteruan antara Polri dengan KPK hendaknya jangan ditutupi dengan ketegasan palsu berupa pelaksanaan eksekusi terhadap para terpidana mati,” ujarnya.

Peneliti Elsam Wahyudi Djafar mengatakan lembaganya menolak keras pemberlakukan hukuman mati di Indonesia terhadap segala jenis kejahatan. Elsam pun mendesak Presiden Joko Widodo untuk menghentikan eksekusi hukuman mati. Ia mengatakan terdapat alasan kuat penghapusan hukuman mati. Pertama, penerapa hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia. Ia berpandangan pelaksanaan hukuman mati terhadap enam orang di awal pemerintah Jokowi menunukan langkah mundur dalam penegakan hak asasi manusia.

Kedua, hukuman mati bukanlah langkah tepat menekan kejahatan, khususnya narkoba. Menurutnya tak ada studi yang cukup untuk dijadikan rujukan bahwa hukuman mati menjadi efek jera dan mengurangi kejahatan sebagaimana pandangan pemerintah. Ketiga, ekesekusi hukuman mati merupakan langkah yang tak dapat dikoreksi jika terjadi kesalahan. Menurutnya, peradilan Indonesia tengah berjuang mencapai suatu sistem peradilan yang mandiri, adil dan tidak memihak.

“Artinya, telah ada kesadaran bersama bahwa dengan kondisi peradilan yang ada saat ini, kesalahan dalam penjatuhan pidana, yang dikarenakan akibat pelanggaran prosedur yang keliru maupun kesalahan terhadap orang (wrongful conviction) sangat mungkin terjadi,” ujarnya.

Keempat, penderitaan yang dialami dalam pemberian hukuman mati tak saja dialami terpidana mati semata, tetapi juga keluarga terpidana. Misalnya, emosi, shock, depresi, stres, bersalah, permusuhan dan kebencian serta ketidakmampuan kembali ke kegiatan seperti biasa. Kelima, kian meluasnya kecenderungan negara di dunia melakukan penghapusan hukuman mati.

Berdasarkan data Amnesty Internasional sepanjang 2014 setidaknya terdapat 140 negara melakukan penghapusan hukuman mati. Dengan perincian, 89 negara secara total menghapus ancaman hukuman mati. Kemudia 7 negara mengapus hukuman mati untuk kejahatan baisa dan 35 negara tidak lagi melakukan praktik hukuman mati. “Sedangkan negara yang masih membolehkan hukuman mati jumlahnya minoritas, tinggal 57 negara,” pungkasnya.

Sekadar diketahui, Kejaksaan Agung telah menyiapkan eksekusi mati gelombang kedua. Sebanyak 11 orang terpidana terdiri dari 7 Warga Negara Asing, dan 4 Warga Negara Indonesia. Eksekusi hukuman mati tahap kedua setelah upaya hukum luar biasa terpidana mati kandas. Begitu pula grasi yang dimohonkan terpidana mati ditolak Presiden Joko Widodo. Eksekusi hukuman mati merujuk pada keputusan presiden (Keppres) yang telah menolak 11 grasi terpidana mati. Dari 11 terpidana mati itu, terdiri 8 kasus narkotika dan 3 kejahatan pembunuhan.
Sementara itu, merespon protes sejumlah pemimpin negara sahabat yang warganya termasuk dalam daftar yang dieksekusi, termasuk oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki-moon, pemerintah menegaskan akan terus melakukan eksekusi mati bagi terpidana mati narkotiba dan obat-obatan (narkoba).

Dikutip laman resmi Sekretariat Kabinet, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, Jaksa Agung HM. Prasetyo tetap akan melaksanakan eksekusi terhadap terpidana mati narkoba, termasuk terhadap dua warga Australia, yaitu Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.

“Kita berpegang kepada hukum, berpegang kepada keputusan hakim dan Mahkamah Agung, tidak akan terpengaruh ke mana-mana,” kata JK usai membuka Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I Palang Merah Indonesia (PMI) di Jakarta, Senin (16/2).

Diakui JK, setiap tindakan itu tidak semua orang menyenangkan, seperti tindakan hukum itu. Ia menegaskan, pemerintah tidak bisa menghentikan keputusan Mahkamah Agung yang menjatuhkan vonis mati kepada dua terpidana tersebut. Namun demikian, JK bisa memaklumi bila pemerintah Australia memprotes langkah Indonesia untuk mengeksekusi mati Andrew dan Myuran.

Tags:

Berita Terkait