Iuran Migas Lewat PP, Sah atau Tidak?
Utama

Iuran Migas Lewat PP, Sah atau Tidak?

Seorang dirut perseroan mempersoalkannya. Pemerintah anggap payung hukumnya sah dan konstitusional.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Agus Budi Wahyono, Staf Ahli Menteri bidang Investasi dan Produksi, Kementerian ESDM yang mewakili pihak pemerintah (kiri) usai menyampaikan jawaban pemerintah atas permohonan pengujian UU Penerimaan Negara Bukan Pajak, Selasa (17/02). Foto: Humas MK
Agus Budi Wahyono, Staf Ahli Menteri bidang Investasi dan Produksi, Kementerian ESDM yang mewakili pihak pemerintah (kiri) usai menyampaikan jawaban pemerintah atas permohonan pengujian UU Penerimaan Negara Bukan Pajak, Selasa (17/02). Foto: Humas MK
Apakah sah dan konstitusional jika pungutan bernama iuran migas hanya diatur lewat Peraturan Pemerintah (PP)? Itulah kini yang tengah diproses dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Seorang direktur utama perseroan mempersoalkannya.

Pemerintah memandang Pasal 48 dan Pasal 49 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) yang mendelegasikan iuran usaha pemanfaatan sumber daya alam dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) telah sejalan dengan Pasal 12 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ketentuan itu juga selaras dengan Pasal 2 ayat (3), Pasal 3 ayat (2) UU UU Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)yang menentukan jenis dan tarif PNBP dapat ditetapkan dalam PP.

“Ini untuk mengantisipasi adanya potensi penerimaan lain yang belum diatur undang-undang (UU) sebagai akibat berkembangnya jenis dan tarif PNBP yang baru,” ujar Staf Ahli Menteri ESDM, Agus Budi Wahyono dalam sidang pengujian UU Migas dan UU PNBP yang diajukan Dirut PT Gresik Migas di Gedung MK, Selasa (17/2).

Agus mengungkapkan selama ini penetapan iuran dengan PP ini telah memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat. Misalnya, kegiatan usahanya, biaya penyelenggaraan kegiatan pemerintah sehubungan dengan jenis PNBP yang ditetapkan, dan aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat.

“Penetapan jenis PNBP ini juga harus dikemukakan kepada DPR untuk dibahas dan disusun dalam RUU tentang APBN,” kata dia.

Dengan begitu, pemerintah menilai, dalil pemohon yang menganggap Pasal 48 dan Pasal 49 UU Migas dihubungkan Pasal 2 ayat (3) dan Pasal 3 ayat (2) UU PNBP khususnya frasa “ditetapkan dengan PP” dan “ditetapkan dalam UU atau PP” keliru dan tidak berdasar. Justru, pengaturan lebih lanjut dalam PP telah memberi kepastian hukum dalam pengelolaan PNBP sesuai amanat Pasal 23A UUD 1945 yang menyebut “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan UU.”

“Menyatakan Pasal 2 ayat (3), Pasal 3 ayat (2) UU PNBP dan Pasal 48 ayat (2), Pasal 49 UU Migas tidak bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945,” harapnya.

Sebelumnya, Dirut PT Gresik Migas Bukhari keberatan atas iuran usaha gas bumi oleh BPH Migas dengan memohon pengujian Pasal 2 ayat (3), Pasal 3 ayat (2) UU PNBP dan Pasal 48 ayat (2), Pasal 49 UU Migas. Pasal-pasal itu menyangkut delegasi pembentukan PP yang mewajibkan iuran setiap usaha pemanfaatan sumber daya alam melalui terbitnya PP No. 1 Tahun 2006 yang mewajibkan iuran bagi badan usaha Migas yang masuk dalam PNBP.

Aturan itu dianggap menyalahi konstitusi karena pengaturan PNBP dalam kegiatan usaha hilir gas bumi dalam PP Iuran itu ditentukan secara sepihak tanpa melibatkan wakil rakyat atau DPR. Padahal, setiap penetapan jenis tarif dan tata cara pembayaran yang masuk dalam PNBP harus dengan undang-undang seperti diamanatkan Pasal 23A UUD 1945.

Soalnya, selama ini pemohon mengalami kerugian karena telah ditarik iuran oleh BPH Migas sebesar Rp145 juta per bulan atau setahun 1,7 miliar. Apalagi, pemohon tidak menerima bentuk layanan apapun dari BPH Migas ketika menjalankan usahanya. Namun, iuran itu justru untuk membiayai kegiatan operasional BPH Migas. Karenanya, pemohon meminta agar pasal-pasal itu dihapus atau dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat.
Tags:

Berita Terkait