Percikan Permenungan Seorang Binoto
Resensi

Percikan Permenungan Seorang Binoto

Buku ini adalah kumpulan artikel yang isinya masih relevan untuk direnungkan.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Buku Korupsi Belum Ada Matinya. Foto: RES
Buku Korupsi Belum Ada Matinya. Foto: RES
Sepuluh tahun lalu, tak lama setelah memulai profesi advokat dan kantor PAN & Rekan, Binoto Nadapdap menghasilkan banyak karya tulis yang ia kirimkan ke sejumlah media. Beragam isu yang ditulis pria kelahiran 30 Oktober 1965 ini, tetapi pada hakekatnya tak jauh-jauh dari isu hukum. Beberapa di antaranya membahas korupsi.

Jika sepuluh tahun kemudian tulisan-tulisan tersebar itu disatukan ke dalam sebuah buku, jadilah isinya bahan permenungan bagi siapapun. Binoto menyebut kumpulan percikan permenungan itu  dengan bahasa yang menarik: Korupsi Belum Ada Matinya.

Kini, judul buku Binoto seolah mendapatkan tempat manakala terjadi kisruh polisi versus KPK. Bertindak tegas melawan prilaku korup, membuat KPK terus menerus menjadi sasaran serangan balik. Corruptors fight back! Dalam bahasa Binoto, koruptor, secara langsung atau tidak langsung, ‘telah ikut menciptakan malapetaka berkepanjangan di negeri ini’. Caranya beragam, antara lain mengakali hukum (hal. 54).

Korupsi memang tidak ada matinya. Bahkan Binoto percaya, selengkap apapun peraturan perundang-undangan, tak akan bisa menghapus prilaku korupsi. Kok bisa? Persoalan korupsi, tulis pria peraih doktor ilmu hukum ini, tak pernah berdiri sendiri. Korupsi selalu berdimensi ganda. ‘Tidak ada perbuatan korupsi yang berdiri sendiri terlepas dari orang atau pihak lain. Korupsi pasti akan terjadi dalam suatu lingkungan kehidupan tertentu’. Sebagus papaun regulasi, kalau aparat tak menjalankan aturan itu dengan baik, sama saja bohong. Binoto menyebutnya dengan pas. ‘Kalau aparat penegak hukum juga telah ikut terimbas dalam virus kepentingan dalam penegakan hukum, maka upaya pemberantasan korupsi pun akan percuma, sia-sia’ (hal. 92).

Lagi-lagi, kisah perseteruan Polri-KPK bisa dijadikan contoh. Persoalan pribadi seorang calon Kapolri yang ditetapkan tersangka oleh KPK justru diseret-seret menjadi persoalan lembaga. Bayangkan ironisnya, puluhan polisi bersorak gembira bahkan ada yang sujud syukur di tempat becek hanya karena PN Jakarta Selatan mengabulkan permohonan praperadilan Budi Gunawan. Ingat bahwa permohonan itu diajukan personal Budi Gunawan, bukan oleh institusi Polri. Adakah komitmen moral para penegak hukum – polisi, jaksa, hakim, dan advokat-- kita rendah?

Demo ke kejaksaan, rusuh setelah putusan hakim, atau --yang lebih brutal-- pembakaran sarana prasarana penegakan hukum seperti pernah terjadi di Larantuka Nusa Tenggara Timur (hal. 151), berkorelasi dengan wibawa produk aparat penegak hukum. Demo dan penolakan masyarakat atas produk kebijakan lembaga penegak hukum, bagi Binoto, ‘merupakan suatu pertanda adanya kekurangberesan dalam proses penegakan hukum’ (hal. 158).
JudulKorupsi Belum Ada Matinya
Penulis Binoto Nadapdap
Cet-1 2014
Penerbit Jala Permata Aksara, Jakarta
Halaman 212 + viii

Meskipun ada nada pesimisme dari judul buku ini, Binoto pada dasarnya menaruh banyak harap pada lahirnya figur-figur baik yang benar-benar punya komitmen pada pemberantasan korupsi. Itu pun tak cukup. Semua komponen bangsa harus punya komitmen sama. Caranya, antara lain, copotlah kacamata kepentingan golongan; gunakanlah kacamata hukum dan keadilan.

Sebagian percikan permenungan dalam buku setebal 212 halaman ini ditulis sekitar sepuluh tahu lalun, di awal-awal KPK berdiri. Tetapi isinya tetap uptodate sebagai bahan renungan melihat carut marut pemberantasan korupsi saat ini. Tugas kita bersama adalah mengurai benang kusutnya, lalu melangkah bersama-sama memberantas korupsi. Dan lewat buku ini, Binoto Nadapdap berharap kita semua ‘membuka mata hati’ tentang bahaya korupsi. Mari kita renungkan!

Selamat membaca…
Tags:

Berita Terkait