Hukuman Mati Ditunda, Kualitas Diplomasi Pemerintah Dikritik
Berita

Hukuman Mati Ditunda, Kualitas Diplomasi Pemerintah Dikritik

Sebagai negara berdaulat, Indonesia tak boleh diintervensi karena memiliki sistem hukum yang mesti dihormati negara lain, sekali pun Australia.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Anggota Komisi III DPR Aboe Bakar Al Habsy (tengah). Foto: SGP
Anggota Komisi III DPR Aboe Bakar Al Habsy (tengah). Foto: SGP
Pemerintah Indonesia melalui Kejaksaan Agung memutuskan melakukan penundaan terhadap eksekusi hukuman mati gelombang kedua. Keputusan tersebut menuai kritik lantaran lemahnya diplomasi pemerintah Indonesia. Hal ini disampaikan anggota Komisi III, Aboe Bakar Alhabsy, melalui pesan singkat kepada hukumonline, Jumat (20/2).

“Penundaan eksekusi mati lantaran ancaman boikot menunjukan lemahnya kualitas diplomasi Indonesia,” ujarnya.

Indonesia merupakan negara berdaulat. Semestinya, Indonesia memiliki kemampuan dan keberanian dalam menegakkan aturan hukum yang berlaku di dalam negeri. Terhadap proses hukum yang sudah dilewati, bahkan kewenangan presiden dengan menolak grasi, sudah semestinya eksekusi segera dilakukan. Sebaliknya, jika ancaman dari negara lain terhadap pemerintah Indonesia lantaran warga negara asing bakal dieksekusi  melakukan tindak pidana luar biasa, menunjukkan Indonesia takluk.

“Jika penegakan hukum di Indonesia dapat diintervensi dengan ancaman boikot, ini berarti kedaulatan hukum negara ini sangat lemah, karena sudah takluk dengan ancaman boikot,” katanya.

Pemerintah Australia memang meminta agar pemerintah Indonesia tidak mengeksekusi mati terhadap warganya. Kedua warga negara Australia itu adalah Andrew Chan dan Myuran Sukumaran dalam kasus ‘Bali Nine’ menyelundupkan 8,3 kilogram Heroin dari Bali ke negeri Kanguru itu. Semestinya, pemerintah Australia menghormati sistem hukum Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Bukan sebaliknya, melakukan intervensi.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu berpandangan, Indonesia tak boleh melakukan intervensi dengan ancaman boikot sebagaimana yang dilakukan Australia. Menurutnya, Indonesia mesti menujukan harkat dan martabatnya sebagai negara berdaulat.  “Sistem hukum yang ada harus berjalan sebagai mana mestinya, jangan sampai terlihat lembek dimata dunia, nanti negara lain juga mengikuti apa yang dilakukan oleh Australia,” ujarnya.

Terpisah, pakar hukum internasional  Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (FH Unpad), Atip Latipulhayat, menambahkan pemerintahan di bawah tampuk kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla mesti tegas dan tidak khawatir dengan ancaman Autralia. Menurutnya, Indonesia memiliki sistem hukum yang berlaku secara berdaulat  di dalam negeri.

Ia beralasan pertama, hukuman mati diakui eksplisit dalam sistem hukum negara Indonesia secara selektif. Termasuk di dalamnya berkaitan dengan narkoba. Karena itu, pemerintah Australia mesti menghormati kedaulatan hukum negara Indonesia sebagai negara berdaulat yang tak boleh diintervensi.

“Harus dibedakan, ketika Australia memohon untuk tidak dieksekusi, itu adalah hak mereka. Namun ketika Indonesia yang memiliki kedaulatan hukum tidak menerimanya, maka Australia harusnya jangan melakukan tindakan-tindakan yang intervensif dan menunjukkan ketidakhormatan terhadap kedaulatan hukum Indonesia,” katanya.

Kedua, adanya perbedaan pemahaman pihak yang mengadvokasi penghapusan hukuman mati. Pasalnya mereka melihat dari sisi pelaku. Namun, tak memperhatikan kedudukan korban yang mengalami kerugian paling besar akibat perbuatan pelaku. Menurutnya, yang perlu diadvokasi adalah perbaikan kualitas hukuman, mulai pembuktian sampai dengan putusan hakim.

Terkait dengan ancaman Perdana Meteri Australia Tony Abbott yang melarang warganya berlibur ke Indonesia, dinilai Atip tak bermakna penting bagi Indonesia. Sebaliknya, pemerintah Indonesia mesti kukuh terhadap ancaman Australia. “Jadi usaha-usaha yang dilakukan pemerintah Australia tidak lebih ingin unjuk gigi membela warganya. Ia ingin cari muka. Karena itu adalah hal biasa,” pungkasnya.

Sebelumnya, pihak Kejaksaan Agung menyatakan penundaan eksekusi terhadap terpidana mati gelombang kedua disebabkan persoalan teknis dan mengenai waktu. Penundaan pun bukanlah pembatalan yang dapat menjadikan sejumlah terpidana mati gelombang tahap dua lolos dari peluru panas regu tembak.

Penundaan eksekusi sebagai bentu respon permintaan dari pemerintah Australia yang mengizinkan Andrew Chan dan Myuran Sukumaran untuk melewatkan waktu lebih lama dengan keluarga mereka. Selain kedua warga negara Australia itu, terdapat lima warga  negara yang akan dieksekusi yakni 1 dari Prancis, 1 dari Brazil, 1 dari Ghana, 1 dari Nigeria dan 1 dari Indonesia, serta seorang perempuan dari Filipina.
Tags:

Berita Terkait