Dibutuhkan Kepala BIN yang Reformis
Berita

Dibutuhkan Kepala BIN yang Reformis

Bagaimanapun, BIN harus tunduk pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Sekretaris Eksekutif KASUM, Choirul Anam (kiri). Foto: SGP
Sekretaris Eksekutif KASUM, Choirul Anam (kiri). Foto: SGP
Koalisi masyarakat sipil mendesak agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) memilih Kepala BIN yang mampu melaksanakan reformasi intelijen. Selama ini, sektor intelijen nyaris luput dari perhatian gerakan reformasi padahak aktivitas intelijen banyak bersinggungan dengan HAM. Reformasi telah mendorong penghargaan yang tinggi terhadap HAM.

Direktur Program Imparsial, Al Araf, berpendapat minimnya reformasi di sektor intelijen berdampak buruk terhadap penegakan demokrasi dan HAM pasca reformasi. Pembunuhan Munir yang diduga melibatkan aparat intelijen negara contoh nyata. “Reformasi intelijen mutlak untuk dilakukan. Presiden Jokowi harus memilih Kepala BIN yang mampu menjalankan itu," katanya dalam diskusi di kantor Komnas HAM Jakarta, Senin (23/2).

Al menilai kerja-kerja intelijen di Indonesia tidak efektif dan efisien, antara lain karena struktur BIN yang militeristik. Pimpinan sampai deputinya dijabat militer aktif. Padahal untuk intelijen militer sudah ada BAIS. Harusnya, BIN diisi oleh orang yang tidak melulu militer sebab BIN mestinya adalah  institusi sipil. Ia juga khawatir BIN jadi alat politik rezim, tidak tunduk pada demokrasi, ekstra konstitusional dan tanpa pengawasan efektif.

Al mencatat ada beberapa hal penting dilaksanakan dalam agenda reformasi intelijen. Misalnya membenahi persepsi ancaman. Aktor pertahanan dan keamanan termasuk intelijen jangan menganggap warga negara yang kritis terhadap kekuasaan sebagai ancaman. Persepsi itu kerap digunakan pada masa Orba.

Pengawasan terhadap intelijen harus diperkuat, dengan membentuk mekanisme keluhan.  agen BIN yang diperintahkan atasannya untuk melanggar HAM bisa mengajukan mekanisme keluhan. Untuk itu perlu dibentuk komite intelijen di parlemen guna menangani komplain tersebut.

Kepala BIN yang mampu melaksanakan itu menurut Al adalah orang yang punya komitmen untuk mereformasi sektor intelijen dan bukan militer aktif. Kandidatnya adalah orang yang menjunjung tinggi demokrasi dan HAM. Kepalda BIN mendatang adalah tipikal pengabdi untuk rakyat, bukan pada rezim. Presiden Jokowi dituntut untuk mendengarkan aspirasi masyarakat dalam memilih calon Kepala BIN. Presiden perlu mendengar masukan Komnas HAM, KPK dan PPATK.

Sekretaris Eksekutif KASUM, Choirul Anam, menekankan agar Kepala BIN ke depan mampu membawa institusi yang dipimpinnya patuh hukum dalam melaksanakan tugas. Ia menilai dalam kasus pembunuhan Munir, BIN tidaktunduk pada peraturan yang ada. Ia mengalaminya ketika sidang ajudikasi di KIP dalam rangka meminta surat penugasan BIN untuk Pollycarpus Budihari Priyanto. BIN berdalih surat itu tidak ada. Harusnya, kata Anam, BIN tetap tunduk pada penetapan rahasia dan informasi terbuka sesuai UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

KASUM menolak kandidat yang terindikasi terlibat dalam kasus pembunuhan Munir. Untuk mencari orang terbaik, Anam mengusulkan agar Presiden Jokowi membentuk tim panel. Guna menyeleksi orang-orang yang layak dicalonkan jadi Kepala BIN.

Ketua Setara Institut, Hendardi, berpendapat calon Kepala BIN harus independen dan bersih dari pelanggaran HAM. Proses pencalonannya pun sebaiknya terbuka kepada publik.

Komisioner Komnas HAM, Sandrayati Moniaga, menekankan pada proses dan kriteria penetapan calon Kepala BIN. Jika Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) bekerja dengan mengacu konstitusi maka dalam mencari calon Kepala BIN harus pula merujuk konstitusi. Ia mengingatkan secara jelas konstitusi mengamanatkan HAM jadi dasar dalam kegiatan bernegara dan berpolitik. “Itu poin penting yang harus diusung kepala negara,” tukasnya.
Tags:

Berita Terkait