Penghapusan Hukuman Mati Butuh Waktu Panjang
Utama

Penghapusan Hukuman Mati Butuh Waktu Panjang

“Menetapkan hukuman mati, sama halnya menghapus jejak kejahatan”.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua DPD RI Farouk Muhammad (baju batik). Foto: www.dpd.go.id
Wakil Ketua DPD RI Farouk Muhammad (baju batik). Foto: www.dpd.go.id
Polemik penerapan hukuman mati terhadap terpidana mati kembali menjadi perbincangan. Indonesia merupakan satu dari sekian negara yang masih menganut penerapan hukuman mati terhadap kejahatan luar biasa. Namun, bagi sebagian kalangan hukuman mati dinilai merampas hak hidup manusia. Desakan penghapusan hukuman mati sudah berlangsung lama.

Wakil Ketua DPD Farouk Muhammad mengatakan, beberapa pekan terakhir Indonesia menjadi sorotan dunia setelah melakukan eksekusi terhadap terpidana mati. Sebanyak lima orang terpidana mati sudah dieksekusi Kejaksaan Agung sebagai pihak eksekutor pada awal Januari lalu. Pemerintah Indonesia bakal melakukan eksekusi mati tahap dua, diantaranya terpidana mati kasus ‘Bali Nine’.

Farouk mengakui menghapus hukuman mati saat ini tak dapat dilakukan, apalagi Mahkamah Konstitusi telah memutuskan pelaksanaan hukuman mati tidak bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945. Padahal, Pasal 28 ayat (1) sudah tegas mengatur mengenai hak dasar warga negara sebagai satu kesatuan yang utuh dan merupakan hak dasar hidup yang harus dijamin oleh negara.

“Kita menghargai ke depan menghapus hukuman mati perlu dipertimbangkan. Kita harapkan dua puluh tahun ke depan bisa menghapus, tetapi belum bisa sekarang menghapus hukuman mati,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Gedung DPD, Rabu (25/2).

Jenderal (purnawirawan) bintang dua polisi itu berpendapat hukuman mati di Indonesia menjadi hukuman terakhir setelah segala upaya hukum ditempuh terpidana. Mulai pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi, Peninjauan Kembali (PK), hingga grasi. Dalam kasus ‘Bali Nine’ misalnya, kata Farouk, grasi yang dimohonkan telah ditolak Presiden Joko Widodo. Menurutnya, presiden dalam menolak permohonan grasi setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung.

Pemerintah, hanyalah bertindak sebagai eksekutif, bukan pembuat hukum. Ia berpandangan, mesin dan sistem hukum sudah berjalan. Presiden pun tak dapat menghentikan. “Mesin sistem hukum sudah berjalanm dan presiden harus mendengarkan lembaga yudikatif dan kejaksaan, presiden tidak bisa menghentikan,” ujar Farouk yang juga dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) itu.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Romli Atmasmita, berpandangan dalam sudut pandang internasional terdapat konvensi internasional yang mempersilakan bagi negara yang menerapkan hukuman mati. Namun, penghapusan hukuman mati dapat dilakukan secara bertahap. Kemudian, terpidana masti mesti diberikan ampunan dari negara yang menerapkan hukuman mati.

Dengan kata lain, meski menerapkan hukuman mati, sedianya negara memberikan ampunan. Kemudian, diwajibkan negara yang meratifikasi protokol untuk menghapus hukuman mati. “Tapi kita tidak pernah meratifikasi protokolnya, jadi sudah betul (menerapkan hukuman mati),” ujar Romli.

Menurutnya, kebijakan pemerintahan Jokowi bakal kembali mengeksekusi sejumlah terpidana mati sudah tepat, meski adanya intervensi dari negara Australia mau pun Brasil. Ia berpandangan pemerintah berani mengatakan ‘tidak’ untuk diintervensi. “Indonesia policy-nya sudah benar, tidak perlu takut tekanan, berani mengatakan tidak dan menjadi negara besar. Saya apresiasi dengan pemerintahan Indonesia,” ujarnya.

Mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) itu berpendapat, konsep hukuman mati dalam draf revisi KUHP yang lalu, menyatakan hukuman mati merupakan pidana pokok yang dikecualikan. Selain itu, kejahatan narkotika merupakan tindak pidana luar biasa. Sebab, narkotika merupakan kejahatan serius yang berdampak buruk pada kehidupan orang banyak.

“Dengan posisi RKUHP, pidana mati jangan dihapus. Saya dukung presiden menolak grasi (terpidana mati kasus narkotika, red),” ujarnya.

Koordinator KontraS, Haris Azhar, berpendapat dalam Pasal 6 ayat (2) Hovenan Hak Asasi Manusia tidak tegas masalah hukuman mati. Menurutnya, pasal 28I UUD 1945 sudah tegas menyatakan hak hidup merupakan hak dasar yang dijamin negara. Dengan kata lain, negara tak boleh semena-mena menghukum mati seseorang.

“Pembatasan hak itu pada situasi tertentu, jika tidak terkait dengan situasi tertentu, tidak boleh dibatasi,” ujarnya.

Haris mengatakan, penerapan hukuman mati tak berdampak pada efek jera. Sebaliknya, yang mesti dibangun adalah aparat penegak hukum mesti sempurna. Ia berpandangan efek jera di Indonesia tak ubahnya sistem liberal. Semua diserahkan pada kesadaran hukum warga negara. Menurutnya, dalam persoalan narkotika tak melulu bicara hukuman mati.

“Ini kan ujungnya popularitas dengan menghukum mati, supaya popularitas, makanya mengarah ke kepentingan politik,” katanya.

Sebagai aktivis pegiat hak asasi manusia, Haris menolak keras penerapan hukuman mati. Menurutnya, sekalipun negara menerapkan hukuman mati, mesti dipastikan ruang upaya hukum diberikan terhadap terpidana mati. Selain itu, negara wajib memperbaiki sistem hukum. Presiden, kata Haris, mesti mengkaji kasus per kasus terpidana mati yang mengajukan grasi.

“Kalau saya menentang hukuman mati, siap ambil resiko. Di oposisinya, menetapkan hukuman mati menghapus jejak kejahatan, jadi menghukum mati menghilangkan jejaknya,” tutupnya.
Tags:

Berita Terkait