Pemerintah Kesulitan Rumuskan Kualifikasi Novum
PP Peninjauan Kembali:

Pemerintah Kesulitan Rumuskan Kualifikasi Novum

Perumusan novum harus diperketat dan diperinci agar tidak ditafsirkan secara umum.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Wicipto Setiadi. Foto: Sgp
Wicipto Setiadi. Foto: Sgp
Pemerintah masih terus menggodok draft Peraturan Pemerintah (PP) terkait pengetatan syarat pengajuan grasi dan peninjauan kembali (PK) kedua dan seterusnya. Pasalnya, pemerintah telah menargetkan enam  bulan PP Pengetatan PK ini akan rampung terhitung sejak pertemuan pihak pemerintah, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung (MA) yang menyepakati sejumlah prinsip dalam penyusunan PP ini pada awal Januari lalu.

Sudah hampir dua bulan berlalu, pemerintah ternyata mengalami  kesulitan untuk merumuskan kualifikasi novum (bukti atau keadaan baru) yang bakal dimasukkan dalam draft PP Pengetatan PK itu. “Kualifikasi novum itu termasuk yang dibahas. Novumnya itu seperti apa? Itu kan kami tidak mudah merinci putusan MK soal novumnya. Kami harus cermati lagi,” ujar Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Wicipto Setiadi saat ditemui di gedung MK, Kamis (26/2) kemarin.

Wicipto menegaskan draft PP Pengetatan PK ini sudah disiapkan oleh Kemenkumham. Namun, draft tersebut masih memerlukan  masukan dari sejumlah pihak khususnya dari Kejaksaan Agung dan MA. “Dalam diskusi lanjutan nanti diharapkan terdapat koreksi/masukan dari berbagai pihak yang prinsipnya PK boleh diajukan beberapa kali asal ada novum yang lagi dirumuskan,” kata dia.

Meski PK boleh diajukan beberapa kali, lanjut Wicipto, bukan berarti pengajuan PK tanpa batasan. Bagaimanapun, pengajuan PK tetap harus dibatasi agar ada  kepastian hukumnya. “Ttentu ada (batasan pengajuan PK). Kalau tidak ada, nanti menjadi tidak ada kepastian. Tapi prinsipnya yang disepakati itu PK boleh beberapa kali,” lanjutnya.

Selain itu, dia mengingatkan dalam draft PP itu juga ditekankan terpidana yang sudah mengajukan grasi lalu ditolak presiden, maka tidak boleh mengajukan PK. “pengajuan grasi itu kan mengakui kesalahan lalu minta pengampunan kepada presdein. Lho kok sudah ngaku salah malah ngajuin PK lagi, untuk apa, bukti barunya juga apa?” ujarnya.

“Kita masih menargetkan selesai dalam waktu enam bulan. Kalau tidak ada hal-hal yang krusial (seperti kualifikasi novum) dalam 2-3 pertemuan lagi dengan Kejagung dan MA, pembahasan PP ini akan selesai.” 

Sejak awal Januari lalu, sejumlah lembaga menyepakati untuk menyusun Peraturan Pemerintah (PP) terkait pengetatan syarat pengajuan grasi dan peninjauan kembali (PK) kedua dan seterusnya dalam perkara pidana sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 34/PUU-XI/2013.

Langkah ini diputuskan sebagai jalan tengah mengatasi polemik pengajuan PK pasca terbitnya SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tentang PK Hanya Satu Kali yang dianggap bertentangan dengan putusan MK itu. Kesepakatan itu menghasilkan tiga poin besar yang akan dituangkan dalam PP.

Pertama, bagi terpidana mati yang permohonan grasinya ditolak presiden, eksekusi tetap dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kedua, menindaklanjuti putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 tertanggal 6 Maret 2014 masih diperlukan peraturan pelaksanaan secepatnya tentang pengajuan permohonan PK terkait pengertian novum, pembatasan waktu pengajuan PK, dan tata cara pengajuan PK.

Ketiga, sebelum ada ketentuan pelaksanaan tersebut, terpidana belum dapat mengajukan PK berikutnya sesuai Pasal 268 ayat (3) KUHAP) yang telah diubah dengan Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013.

Terpisah, Juru Bicara MA Suhadi sepakat agar pengajuan PK tetap perlu dibatasi dengan kualifikasi novum yang sangat ketat. Dia mencontohkan dalam kasus mantan Ketua KPK Antasari Azhar ditemukan novum scientific evidence, sebagai bukti ilmiah yang bisa dikategorikan sebagai novum untuk diberi kesempatan mengajukan PK yang kedua.

“Makanya, draft PP perlu dimasukkan kualifikasi novum, jangan kualifikasinya terlalu luas. Kalau semua novum bisa diterima mengajukan PK kedua bisa berbahaya. Selain MA kebanjiran perkara, eksekusi mati sulit untuk dilaksanakan,” kata Suhadi saat dihubungi.

Dia jelaskan novum merupakan keadaan baru yang ditemukan setelah dijatuhkannya putusan pertama. Sehingga, dengan ditemukan keadaan barunya itu, putusan berikutnya kemungkinan akan berubah. “Bisa saja terdakwa dinyatakan tidak bersalah, onstlag (lepas), atau dihukum lebih rendah. Tetapi, praktiknya kadang-kadang bukti foto copy aturan dianggap novum,” kata dia. “Novum harus diperketat dan diperinci, ini agar tidak ditafsirkan secara umum”.
Tags:

Berita Terkait