Catatan atas Putusan Praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan
Kolom

Catatan atas Putusan Praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan

Seharusnya hakim tidak menafsirkan lebih dari yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP ini, sebab ketentuan ini tidak multitafsir.

Bacaan 2 Menit
John Ferry Situmeang, SH. Foto: LBH Mawar Saron
John Ferry Situmeang, SH. Foto: LBH Mawar Saron
Permohonan praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan atas penetapan tersangka yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah oleh Hakim Sarpin Rizaldi. Salah satu amarnya, .   Dari amar di atas, muncul pertanyaan dalam benak penulis, bagaimana caranya mengeksekusi amar putusan praperadilan tersebut? Rumusan amar itu dapat diartikan bahwa jika sudah tidak ada lagi upaya hukum terhadap putusan dimaksud, maka segala keputusan yang akan ditempuh oleh KPK terkait dengan status tersangka Budi Gunawan, termasuk dalam rangka menyelesaikan perkara tersebut (dalam pengertian bukan menghentikan penyidikan, sebab KPK tidak diberi wewenang oleh UU untuk menerbitkan penghentian penyidikan) adalah tidak sah.   Penulis sendiri masih belum bisa membayangkan konstruksi hukum yang akan dipakai oleh KPK untuk menghentikan perkara ini karena KPK tidak diberi wewenang untuk menghentikan suatu penyidikan. Menurut Penulis, amar putusan praperadilan atas perkara itu karena tidak berlandaskan hukum.   Penulis berpendapat pertimbangan hukum yang menghasilkan amar di atas patut dipertanyaan. Yaitu pertimbangan hukum yang menyatakan bahwa pengadilan berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan dan kedua, bahwa pemohon (Komjen. Pol. Budi Gunawan) bukan merupakan subjek hukum pelaku tindak pidana korupsi yang menjadi kewenangan termohon (KPK).   Menurut Hakim Sarpin, pemohon bukan aparat penegak hukum, dan bukan penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c jo. Pasal 11 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK,sebab jabatan pemohon pada saat tindak pidana yang disangkakan bukan dalam jabatan dalam rangka melaksanakan penegakan hukum, namun dalam rangka menjalankan fungsi administratif.   Selain itu,Budi Gunawan belum menjadi pejabat eselon 1, sehingga bukan merupakan penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (UU Penyelenggara Negara), serta tindak pidana yang diduga dilakukan oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan bukan termasuk tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara, namun merupakan tindak pidana korupsi penyalanggunaan kekuasaan atau kewenangan.   Sah atau tidaknya penyidikan atau sah atau tidaknya penetapan tersangka, menurut penulis, berdasarkan hukum yang berlaku saat ini, bukanlah merupakan objek praperadilan. Pasal 77 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berbunyi:   “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang: a.Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; b.Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan”   Pertanyaannya sekarang, apakah di luar kedua alasan praperadilan di atas, masih dimungkinkan adanya alasan praperadilan yang lain, seperti sah atau tidaknya penyidikan atau sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagaimana objek praperadilan dalam perkara praperadilan yang diajukan oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan ini?   Perlu untuk diketahui bahwa sistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak sama seperti sistem hukum yang menganut aliran , yang memperbolehkan hakim untuk menciptakan hukum (judge made law). Hal ini sejalan dengan ketentuan (AB –AB masih berlaku sepanjang belum dicabut secara tegas oleh UU berdasarkan Aturan Peralihan UUD 1945--), yang menyatakan: “”.   Hal ini berarti, bahwa dalam hukum yang berlaku di Indonesia, hakim dilarang menafsirkan lebih dari yang seharusnya jika sudah jelas pengaturannya. Namun bukan berarti hakim menjadi tidak bebas dalam menjalankan kewenangannya. , karena pada hakekatnya, hakim dilarang menolak perkara dengan alasan tidak ada hukumnya.   Oleh karenanya, dalam perkara praperadilan yang diajukan oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan, pendapat hakim praperadilan yang menyatakan bahwa mengenai permohonan yang diajukan oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan mengenai penetapan tersangka tidak diatur dalam KUHAP, sehingga terjadi kekosongan hukum adalah pertimbangan yang salah tafsir menurut hemat penulis.   Dalam putusan praperadilan tersebut, hakim mengakui bahwa permohonan praperadilan yang diajukan oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan berkaitan erat dengan penyidikan karena hakim seakan-akan menempatkan bahwa penetapan tersangka merupakan bagian dari penyidikan, sehingga harus dianggap sebagai upaya penyidikan, hal tersebut juga kelihatan dari amar putusan praperadilan tersebut, yang berbunyi: “”   Jika memang pola berpikir hakim demikian, maka seharusnya ia menyadari bahwa selaku hakim, ia terikat dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu hukum, bukan sistem hukum negara lain yang secara teori akademis menjadi salah satu bagian ilmu yang dipelajari. Dengan menyebutkan klausa “...penyidikan yang dilakukan oleh termohon...” dalam amar putusannya, artinya hakim mengakui bahwa yang dimohonkan untuk diuji keabsahannya adalah sah atau tidaknya penyidikan, sehingga seharusnya hakim tidak memiliki alasanuntuk menyatakan permohonan tersebut belum diatur.   Dengan memperhatikan cara berpikir hakim seperti yang telah penulis kemukakan di atas, maka seharusnya hakim tidak menafsirkan lebih dari yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP ini, sebab ketentuan ini menurut hemat penulis bukan aturan yang multitafsir. Para ahli hukum bahkan menyatakan bahwa objek atau alasan praperadilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP bersifat limitatif.   Terkait pertimbangan hukum yang menyatakan bahwa Komjen. Pol. Budi Gunawan bukan merupakan subjek hukum pelaku tindak pidana korupsi yang menjadi kewenangan termohon (KPK), maka dapat dipetakan beberapa permasalahan yang perlu untuk ditelaah. Yaitu apakah benar Komjen. Pol. Budi Gunawan, pada waktu tindak pidana yang diduga dilakukannya, ia bukan merupakan aparat penegak hukum sebagaimana dimaksud dalam UU? apakah benar Komjen. Pol. Budi Gunawan, pada waktu tindak pidana yang diduga dilakukannya, ia bukan merupakan penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam UU?   , menyebutkan: “ c. ”   Memang, Pasal 11 UU KPK maupun Penjelasan Pasal 11 UU KPK, tidak memberi penjelasan mengenai kualifikasi aparat penegak hukum. Namun harusnya hakim memberikan penafsiran secara harafiah yang sesungguhnya dengan literatur yang ada, tanpa menafsirkan sendiri. Penulis mencoba mencari pengertian dari berbagai macam , salah satunya yang penulis temukan adalah istilah dari buku yang ditulis oleh , yang menyebutkan:   “”

Bahwa berdasarkan literatur ini, DR. Lilik Mulyadi, S.H., M.H. menjelaskan bahwa kepolisian secara lembaga adalah penegak hukum berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002tentang Kepolisian RI, yang berarti, bahwa orang yang menjadi aparat kepolisian (Polisi) berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002 adalah aparat penegak hukum, tanpa memandang aparat tersebut ditugaskan di bidang apa.

Hal ini pun sesuai dengan Fungsi dan Tugas Kepolisian dalam Pasal 2 & Pasal 13 huruf b UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian:

Pasal 2: “Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”

Pasal 13: “Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakan hukum; dan c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”

Dengan mengikuti cara berpikir hakim praperadilan tersebut, yang menafsirkan secara harfiah, maka penulis menemukan juga penafsiran secara harfiah berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yaitu:

Aparat, berarti: 1. alat; perkakas: --radio; 2. badan pemerintahan; instansi pemerintah; pegawai negeri; alat negara: --Pemerintah; 3. perlengkapan: --militer.Penegak berarti: orang yg menegakkan (mendirikan): para hakim adalah para ~ hukum. Hukum berarti: 1. peraturan atau adat yg secara resmi dianggap mengikat, yg dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah; 2. undang-undang, peraturan, dsb untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; 3. patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dsb) yg tertentu; 4. keputusan (pertimbangan) yg ditetapkan oleh hakim (dl pengadilan); vonis; --administrasi hukum tentang pelaksanaan fungsi (kegiatan kenegaraan);

Yang jika digabungkan kata demi kata, dan dihubungkan dengan perkara praperadilan dimaksud, maka aparat penegak hukum secara harafiah seharusnya berarti “Alat atau badan pemerintahan atau instansi pemerintah atau pegawai negeri atau alat negara atau perlengkapan militeryang menegakkan peraturan yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat”.

Dari kedua literatur yang penulis temukan di atas, maka menurut penulis, sesungguhnya Komjen. Pol. Budi Gunawan,yang pada saat itu berpangkat Kombes dan menduduki jabatan Karobinkar tidak dapat tidak dimaknai sebagai aparat penegak hukum hanya karena ia tidak bersentuhan langsung dengan hukum publik. Hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa ia bersentuhan langsung dan memiliki tanggungjawab dalam rangka menegakkan hukum di internal Polri yang menyangkut pembinaan dan karir, sehingga, sebagai seorang sarjana hukum, penulis sangat menyayangkan pendapat hakim praperadilan tersebut yang menerjemahkan secara harfiah, tanpa menunjuk suatu rujukan untuk menemukan tafsiran secara harfiah tersebut.

Jangan disalahkan jika nantinya masyarakat membuat olok-olokan atas status penegak hukum yang disandang oleh anggota kepolisian nantinya, bisa jadi jika seseorang hendak ditangkap oleh anggota polisi maka orang tersebut akan mengelak dan berkata “tunggu dulu pak polisi, status anda apa? Anda kan bukan penegak hukum....”

Lagi pula, jika melihat tafsiran dari hakim praperadilan Komjen. Pol. Budi Gunawan, yang memberi pengertian bahwa yang dimaksud dengan aparat penegak hukum adalah penyelidik, penyidik, jaksa penuntut umum dan hakim, maka seolah-olah penegakan hukum hanya semata-mata diperlukan untuk menegakkan hukum pidana saja, padahal hukum yang harus ditegakkan itu bukan hanya hukum pidana saja, termasuk hukum yang mengatur internal suatu instansi.

Terkait dengan pertimbangan lainnya yang menyangkut pengertian penyelenggara Negara yang menjadi kewenangan KPK dan yang menyangkut mengenai batas minimum kerugian negara serta jenis tindak pidana yang disangkakan kepada Komjen. Pol. Budi Gunawan, penulis sependapat dengan pertimbangan hakim praperadilan tersebut. Sedangkan menyangkut kewenangan KPK terkait Pasal 11 UU KPK huruf b, yaitu tindak pidana korupsi yang mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, penulis berpendapat bahwa ketentuan ini tidak memiliki tolak ukur.

Dari pandangan di atas, secara keseluruhan, berdasarkan sistem hukum di Indonesia, yaitu positivisme hukum, maka menyangkut praperadilan, menurut penulis, sudah diatur secara limitatif di dalam Pasal 77 KUHAP, sehingga hakim praperadilan seharusnya tidak dapat mempergunakan kewenangan yang diberikan kepadanya melalui UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kehakiman), untuk menemukan hukum atau menafsirkan lebih dari yang sudah diatur dalam Pasal 77 KUHAP, karena kewenangan untuk menafsirkan ataupun menemukan hukum berdasarkan UU Kehakiman juga dibatasi, yaitu hanya dapat dipergunakan di saat hukum yang mengatur tidak ada atau hukum yang mengatur tidak jelas. Dalam hal ini, mengenai praperadilan, hukum yang mengatur sudah jelas, yaitu Pasal 77 KUHAP dan aturan yang mengatur tersebut juga sudah jelas, yaitu limitatif.

Dengan memahami filosofi dari pidana dan pemidanaan, dapat dipahami, bahwa hukum pidana akan selalu bersentuhan dengan kekuasaan (Negara) melawan warga Negara (orang-perorangan). Hal ini berarti, akan selalu ada, kekuasaan yang besar pada penegak hukum yang dapat dipergunakan secara subjektif, dan kelemahan yang teramat besar bagi orang yang berhadapan dengan hukum yang tergantung pada kekuasaan subjektif penegak hukum. Kewenangan kekuasaan yang besar yang melekat pada penegak hukum yang dapat dipergunakan secara subjektif tersebut, berdasarkan hukum positif yang berlaku saat ini, yang mengatur mengenai aturan penegakan hukum pidana materiil, yaitu KUHAP, tidak memiliki daya control yang cukup memadai untuk mengontrol kekuasaan tersebut, padahalharus dipahami jika “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”.

Oleh karena itu, penulis berharap, pembuat undang-undang, yaitu legislatif dan eksekutif, segera mengesahkan RUU KUHAP yang baru, karena menurut penulis, permasalahan-permasalahan hukum yang mungkin timbul dikemudian hari akibat dari kesewenang-wenangan penggunaan kekuasaan, seperti yang dialami oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan sebagaimana permohonannya di dalam praperadilan di atas, telah diatur mekanisme hukum acaranya secara lebih detail, sehingga perdebatan-perdebatan yang penuh dengan berbagai macam interpretasi dapat dihindarkan dan kepastian hukum akan lebih terjamin yang akan berdampak pula kepada kepercayaan warga Negara terhadap penegak hukum di republik ini.

Betapa pahitnyapun kenyataan hukum yang ada saat ini, namun sebagai Negara hukum, yang sistem hukumnya adalah positivism, maka setiap warga Negara wajib menghormati hukum dan janganlah sekali-kali mengolok-olok hukum yang berlaku tersebut karena ketidaksesuaian dengan pemahamannya atau rasa keadilannya. Jika kenyataannya ada aturan hukum yang dirasa sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman, maka seharusnya hukum itulah yang harus diperbaiki melalui mekanisme hukum yang diperuntukkan untuk itu, bukan dengan cara-cara membangun opini yang justru memberikan dampak yang tidak baik bagi republik ini. Biarlah hukum menjadi panglima tertinggi !

* Wakil Kepala Divisi Non Litigasi LBH Mawar Saron Jakarta
dikabulkan sebagian“Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan lebih lanjut yang dikeluarkan oleh Termohon yang berkaitan dengan penetapan Tersangka oleh Termohon”



a quonon-executable

a quo,





Mengenai kompetensi








Anglo-Saxonfreie rechtslehrePasal 20 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor IndonesieHakim harus mengadili berdasarkan Undang-Undang

Hakim diperkenankan untuk menafsirkan lebih luas suatu peraturan di kala peraturan tersebut tidak jelas maksudnya atau hakim diperkenankan untuk membuat suatu kaidah hukum di saat terjadi kekosongan hukum



Bahwa penyidikan yang dilakukan oleh termohon...dst.

positivisme



Mengenai Definisi “Penegak Hukum” dan “Penyelenggara Negara”


Pasal 11 UU KPK
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang :
a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)

literaturepanca wangsaDR. Lilik Mulyadi, S.H., M.H., pada tahun 2008, yang berjudul Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoritis dan Praktik, Penerbit Alumni, Bandung, Hal.7

Sebagaimana diketahui bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia mengenal 5 (lima) institusi sub sistem peradilan pidana sebagai Panca Wangsa penegak hukum, yaitu Lembaga Kepolisian (UU No. 2 Tahun 2002), Kejaksaan (UU No. 16 Tahun 2004), Peradilan (UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 2 Tahun 1986), Lembaga Pemasyarakatan (UU No. 12 Tahun 1995) dan Advokat (UU No. 18 Tahun 2003)
Tags:

Berita Terkait