Bahwa berdasarkan literatur ini, DR. Lilik Mulyadi, S.H., M.H. menjelaskan bahwa kepolisian secara lembaga adalah penegak hukum berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002tentang Kepolisian RI, yang berarti, bahwa orang yang menjadi aparat kepolisian (Polisi) berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002 adalah aparat penegak hukum, tanpa memandang aparat tersebut ditugaskan di bidang apa.
Hal ini pun sesuai dengan Fungsi dan Tugas Kepolisian dalam Pasal 2 & Pasal 13 huruf b UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian:
Pasal 2: “Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”
Pasal 13: “Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakan hukum; dan c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”
Dengan mengikuti cara berpikir hakim praperadilan tersebut, yang menafsirkan secara harfiah, maka penulis menemukan juga penafsiran secara harfiah berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yaitu:
Aparat, berarti: 1. alat; perkakas: --radio; 2. badan pemerintahan; instansi pemerintah; pegawai negeri; alat negara: --Pemerintah; 3. perlengkapan: --militer.Penegak berarti: orang yg menegakkan (mendirikan): para hakim adalah para ~ hukum. Hukum berarti: 1. peraturan atau adat yg secara resmi dianggap mengikat, yg dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah; 2. undang-undang, peraturan, dsb untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; 3. patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dsb) yg tertentu; 4. keputusan (pertimbangan) yg ditetapkan oleh hakim (dl pengadilan); vonis; --administrasi hukum tentang pelaksanaan fungsi (kegiatan kenegaraan);
Yang jika digabungkan kata demi kata, dan dihubungkan dengan perkara praperadilan dimaksud, maka aparat penegak hukum secara harafiah seharusnya berarti “Alat atau badan pemerintahan atau instansi pemerintah atau pegawai negeri atau alat negara atau perlengkapan militeryang menegakkan peraturan yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat”.
Dari kedua literatur yang penulis temukan di atas, maka menurut penulis, sesungguhnya Komjen. Pol. Budi Gunawan,yang pada saat itu berpangkat Kombes dan menduduki jabatan Karobinkar tidak dapat tidak dimaknai sebagai aparat penegak hukum hanya karena ia tidak bersentuhan langsung dengan hukum publik. Hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa ia bersentuhan langsung dan memiliki tanggungjawab dalam rangka menegakkan hukum di internal Polri yang menyangkut pembinaan dan karir, sehingga, sebagai seorang sarjana hukum, penulis sangat menyayangkan pendapat hakim praperadilan tersebut yang menerjemahkan secara harfiah, tanpa menunjuk suatu rujukan untuk menemukan tafsiran secara harfiah tersebut.
Jangan disalahkan jika nantinya masyarakat membuat olok-olokan atas status penegak hukum yang disandang oleh anggota kepolisian nantinya, bisa jadi jika seseorang hendak ditangkap oleh anggota polisi maka orang tersebut akan mengelak dan berkata “tunggu dulu pak polisi, status anda apa? Anda kan bukan penegak hukum....”
Lagi pula, jika melihat tafsiran dari hakim praperadilan Komjen. Pol. Budi Gunawan, yang memberi pengertian bahwa yang dimaksud dengan aparat penegak hukum adalah penyelidik, penyidik, jaksa penuntut umum dan hakim, maka seolah-olah penegakan hukum hanya semata-mata diperlukan untuk menegakkan hukum pidana saja, padahal hukum yang harus ditegakkan itu bukan hanya hukum pidana saja, termasuk hukum yang mengatur internal suatu instansi.
Terkait dengan pertimbangan lainnya yang menyangkut pengertian penyelenggara Negara yang menjadi kewenangan KPK dan yang menyangkut mengenai batas minimum kerugian negara serta jenis tindak pidana yang disangkakan kepada Komjen. Pol. Budi Gunawan, penulis sependapat dengan pertimbangan hakim praperadilan tersebut. Sedangkan menyangkut kewenangan KPK terkait Pasal 11 UU KPK huruf b, yaitu tindak pidana korupsi yang mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, penulis berpendapat bahwa ketentuan ini tidak memiliki tolak ukur.
Dari pandangan di atas, secara keseluruhan, berdasarkan sistem hukum di Indonesia, yaitu positivisme hukum, maka menyangkut praperadilan, menurut penulis, sudah diatur secara limitatif di dalam Pasal 77 KUHAP, sehingga hakim praperadilan seharusnya tidak dapat mempergunakan kewenangan yang diberikan kepadanya melalui UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kehakiman), untuk menemukan hukum atau menafsirkan lebih dari yang sudah diatur dalam Pasal 77 KUHAP, karena kewenangan untuk menafsirkan ataupun menemukan hukum berdasarkan UU Kehakiman juga dibatasi, yaitu hanya dapat dipergunakan di saat hukum yang mengatur tidak ada atau hukum yang mengatur tidak jelas. Dalam hal ini, mengenai praperadilan, hukum yang mengatur sudah jelas, yaitu Pasal 77 KUHAP dan aturan yang mengatur tersebut juga sudah jelas, yaitu limitatif.
Dengan memahami filosofi dari pidana dan pemidanaan, dapat dipahami, bahwa hukum pidana akan selalu bersentuhan dengan kekuasaan (Negara) melawan warga Negara (orang-perorangan). Hal ini berarti, akan selalu ada, kekuasaan yang besar pada penegak hukum yang dapat dipergunakan secara subjektif, dan kelemahan yang teramat besar bagi orang yang berhadapan dengan hukum yang tergantung pada kekuasaan subjektif penegak hukum. Kewenangan kekuasaan yang besar yang melekat pada penegak hukum yang dapat dipergunakan secara subjektif tersebut, berdasarkan hukum positif yang berlaku saat ini, yang mengatur mengenai aturan penegakan hukum pidana materiil, yaitu KUHAP, tidak memiliki daya control yang cukup memadai untuk mengontrol kekuasaan tersebut, padahalharus dipahami jika “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”.
Oleh karena itu, penulis berharap, pembuat undang-undang, yaitu legislatif dan eksekutif, segera mengesahkan RUU KUHAP yang baru, karena menurut penulis, permasalahan-permasalahan hukum yang mungkin timbul dikemudian hari akibat dari kesewenang-wenangan penggunaan kekuasaan, seperti yang dialami oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan sebagaimana permohonannya di dalam praperadilan di atas, telah diatur mekanisme hukum acaranya secara lebih detail, sehingga perdebatan-perdebatan yang penuh dengan berbagai macam interpretasi dapat dihindarkan dan kepastian hukum akan lebih terjamin yang akan berdampak pula kepada kepercayaan warga Negara terhadap penegak hukum di republik ini.
Betapa pahitnyapun kenyataan hukum yang ada saat ini, namun sebagai Negara hukum, yang sistem hukumnya adalah positivism, maka setiap warga Negara wajib menghormati hukum dan janganlah sekali-kali mengolok-olok hukum yang berlaku tersebut karena ketidaksesuaian dengan pemahamannya atau rasa keadilannya. Jika kenyataannya ada aturan hukum yang dirasa sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman, maka seharusnya hukum itulah yang harus diperbaiki melalui mekanisme hukum yang diperuntukkan untuk itu, bukan dengan cara-cara membangun opini yang justru memberikan dampak yang tidak baik bagi republik ini. Biarlah hukum menjadi panglima tertinggi !
* Wakil Kepala Divisi Non Litigasi LBH Mawar Saron Jakarta
a quonon-executable
a quo,
Mengenai kompetensi
Anglo-Saxonfreie rechtslehrePasal 20 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor IndonesieHakim harus mengadili berdasarkan Undang-Undang
Hakim diperkenankan untuk menafsirkan lebih luas suatu peraturan di kala peraturan tersebut tidak jelas maksudnya atau hakim diperkenankan untuk membuat suatu kaidah hukum di saat terjadi kekosongan hukum
Bahwa penyidikan yang dilakukan oleh termohon...dst.
positivisme
Mengenai Definisi “Penegak Hukum” dan “Penyelenggara Negara”
Pasal 11 UU KPK
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang :
a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
literaturepanca wangsaDR. Lilik Mulyadi, S.H., M.H., pada tahun 2008, yang berjudul Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoritis dan Praktik, Penerbit Alumni, Bandung, Hal.7
Sebagaimana diketahui bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia mengenal 5 (lima) institusi sub sistem peradilan pidana sebagai Panca Wangsa penegak hukum, yaitu Lembaga Kepolisian (UU No. 2 Tahun 2002), Kejaksaan (UU No. 16 Tahun 2004), Peradilan (UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 2 Tahun 1986), Lembaga Pemasyarakatan (UU No. 12 Tahun 1995) dan Advokat (UU No. 18 Tahun 2003)