Penegakan Hukum Putus Mata Rantai Kekerasan
Perlindungan PRT:

Penegakan Hukum Putus Mata Rantai Kekerasan

Kasus Erwiana bisa dijadikan menjadi contoh.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Aksi unjuk rasa solidaritas buruh migran atas kasus Erwiana. Foto: Facebook
Aksi unjuk rasa solidaritas buruh migran atas kasus Erwiana. Foto: Facebook
Komisi Nasional Perlindungan Perempuan (Komnas Perempuan) meyakini penegakan hukum yang konsisten dapat digunakan untuk memutus mata rantai impunitas kasus-kasus kekerasan terhadap Pembantu Rumah Tangga (PRT) dan buruh migran.

Masalahnya, kata komisioner Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah, jalur hukum masih jarang dipakai pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus yang menimpa PRT dan buruh migran. Padahal, Yuniyanti yakin tidak sulit bagi pemerintah untuk membawa persoalan kekerasan yang dialami PRT asal Indonesia dan buruh migran ke ranah hukum.

Kasus yang dialami buruh migran Indonesia di Hong Kong, Erwiana Sulistyaningsih, bisa dijadikan contoh. Seperti diketahui, Pengadilan distrik Hong Kong menghukum Law Wan Tung 6 tahun penjara karena terbukti menyiksa Erwiana.

Yuniyanti berpendapat dengan menempuh jalur hukum, potensi kekerasan dan kasus lainnya yang bisa menimpa PRT dan buruh migran dapat dicegah. Bahkan ia menilai majikan di negara penempatan cenderung tidak berani melakukan kekerasan terhadap buruh migran dari negara yang sering menempuh jalur hukum ketika warga negaranya yang bekerja sebagai buruh migran tersangkut masalah.

“Hanya butuh keseriusan (pemerintah,-red), proses hukum bisa menghentikan impunitas (kekerasan terhadap PRT dan buruh migran,-red),” kata Yuniyanti dalam jumpa pers di kantor Komnas Perempuan di Jakarta, Senin (03/3).

Untuk memperkuat perlindungan terhadap PRT dan buruh migran, Yuniyanti mengusulkan pemeritah segera membahas RUU PRT dan meratifikasi Konvensi ILO No. 189 tentang Kerja Layak PRT. Dengan regulasi itu hak-hak PRT sebagai pekerja akan terlindungi.

Konvensi ILO No. 189 menurut Yuniyanti mengatur berbagai standar minimal yang harus diterima PRT. Seperti hari libur, jam istirahat, hak berorganisasi, mobilitas dan berorganisasi. Kemudian, mengatur upah layak bagi PRT yakni tidak boleh diupah dalam bentuk benda. PRT juga perlu mendapat ruang atau kamar yang aman serta jaminan kesehatan dan sosial.

Yuniyanti juga berpendapat bahwa daripada menghentikan pengiriman buruh migran PRT ke luar negeri, lebih pemerintah menerbitkan regulasi yang mengatur dan melindungi buruh migran. Apalagi dalam perspektif HAM, setiap orang berhak untuk melakukan mobilitas, termasuk mencari pekerjaan layak di luar negeri. “Peran negara itu mengatur, melindungi dan menegakan hukum,” tukasnya.

Pada kesempatan yang sama Erwiana mengatakan kemenangan kasusnya mendorong buruh migran lain melaporkan berbagai masalah yang dialaminya kepada jaringan buruh migran. Menurutnya, buruh migran cenderung tidak melaporkan masalah yang menimpanya kepada agen (PJTKI/PPTKIS) atau pemerintah (KJRI) karena sering dikembalikan ke majikan. “Pemerintah selama ini tidak serius menangani kasus yang menimpa buruh migran,” paparnya.

Erwiana menilai selama ini pemerintah menyerahkan perlindungan buruh migran kepada swasta yakni lewat agen atau PJTKI/PPTKIS. Ironisnya, ketika terjadi masalah, agen yang bersangkutan cenderung tidak bertanggung jawab. Itu dialami oleh Erwiana ketika mendapat kekerasan dari majikannya. Bahkan PJTKI yang mengirim Erwiana ke Hong Kong tidak mendapat sanksi. “Pemerintah harusnya membuat peraturan yang melindungi buruh migran. Perlindungannya jangan diserahkan kepada swasta,” usulnya.

Koordinator Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI), Iweng Karsiwen, mengatakan kekerasan yang terjadi pada buruh migran akibat minimnya payung hukum yang memberi perlindungan. UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI Ke Luar Negeri (PPTKILN) dinilai sudah tidak layak karena memberi kewenangan terlalu besar terhadap PJTKI/PPTKIS. “Akibatnya, biaya penempatan buruh migran mahal, tempat penampungan tidak manusiawi dan minim perlindungan,” tandasnya.
Tags:

Berita Terkait