Pesan Pembaruan Hakim Sarpin
Kolom

Pesan Pembaruan Hakim Sarpin

Pemikiran futuristik Hakim Sarpin juga sejalan dengan Nawacita awal dari Presiden Jokowi, meskipun belakangan terjadi perubahan atau bantahan dari pihak tim sukses Jokowi atas hal tersebut.

Oleh:
Junaedi
Bacaan 2 Menit
Foto: Koleksi Pribadi (Edit: RES)
Foto: Koleksi Pribadi (Edit: RES)
“Drama” praperadilan yang dimohonkan Komjen Pol Budi Gunawan (BG) melalui para kuasa hukumnya telah berakhir, seiring dengan dibacakannya putusan oleh Hakim Sarpin Rizaldi pada tanggal 16 Februari 2015. Putusan praperadilan yang dibacakan Hakim Sarpin tersebut telah menimbulkan pro kontra di antara kalangan ahli hukum, pendapat tersebut mulai dari perspektif Hak Asasi Manusia hingga perspektif legis formalis dari pengaturan tentang pra peradilan.

Meskipun dalam perspektif hukum Acara yang berlaku kini, bahwa lingkup kewenangan dari praperadilan adalah limitatif atau terbatas dan pemeriksaan lebih ditekankan pada segi formil atau administrasi yaitu meliputi memeriksa sah tidaknya suatu penangkapan, penahanan ataupun penghentian penyidikan atau penuntutan. Berdasarkan hukum acara (dari segi legal formal) yang berlaku maka apa yang diputuskan oleh Hakim Sarpin adalah suatu kekeliruan yang nyata atau melebihi kewenangannya, karena kewenangan untuk mengisi kekosongan hukum acara atau membuat pengaturan tentang penyelesaian suatu soal yang belum diatur dalam hukum acara termasuk menafsirkan pelaksanaan hukum acara itu ada di Mahkamah Agung (vide Pasal 79 UU Mahkamah Agung). Namun, di balik kekeliruan tersebut justru terdapat pesan pembaruan untuk masa mendatang.

Tulisan ini akan bersikap lebih positif dari putusan yang telah diputuskan oleh Hakim Sarpin dan memandang perspektif futuristik yang dianut Hakim Sarpin. Adapun hal-hal yang menjadi fokus dari apa yang diputuskan oleh Hakim Sarpin yaitu sebagai berikut:
  1. Praperadilan memiliki wewenang untuk memeriksa permohonan sah tidaknya penetapan tersangka;
  2. Pernyataan KPK tidak berwenang menyidik perkara atas nama pemohon (BG) ketika menjadi kepala biro pembinaan karier (karobinkar) pada Deputi Sumber Daya Manusia POLRI periode 2003-2006, hal ini karena karobinkar merupakan jabatan administrasi dan bukan penegak hukum.
Penetapan Tersangka
Penetapan tersangka menjadi objek pemeriksaan oleh hakim untuk dapat mengawasi kemungkinan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh penyidik adalah pesan pembaruan pertama yang disampaikan oleh Hakim Sarpin. Dengan memeriksa keabsahan penetapan tersangka adalah upaya menegakkan check and balances atas kewenangan penyidik.

Degan kata lain, putusan Hakim Sarpin ini mengirimkan pesan untuk pemberlakuan sistem magistrates dalam hukum acara pidana Indonesia, hal mana sejalan dengan Rancangan KUHAP yaitu keberadaan Hakim Komisaris (Magistrates Judge) yang kemudian terdapat perubahan konsepnya menjadi Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP)

Dalam sistem Magistrates yang berlaku secara murni di sistem continental maka hal ini dapat diartikan mengembalikan sistem magistrates yang dalam hal ini kewenangan magistrates tersebut ada di tangan Jaksa pada pengadilan sesuai dengan wilayah hukum pengadilan. Pemeriksaan terhadap prima facie atas penetapan tersangka yang didasarkan atas apa yang ditemukan oleh penyidik polisi sebagai hulp magistrates (magistrate pengganti).

Selanjutnya jaksa bersama magistrates court akan menilai prima facie tersebut apakah perolehan bukti dengan cara yang sah dan berdasar hukum. Apabila dinilai bahwa apa yang dikumpulkan tersebut telah sah dan berdasar atas hukum maka magistrates judges selanjutnya menerbitkan court order (penetapan) untuk dapat dilanjutkannya proses penyidikan tersebut. 

Dengan begitu apa yang diputuskan oleh Hakim Sarpin dapat menjadi pesan untuk pentingnya mengembalikan sistem magistrates ke sistem hukum acara pidana Indonesia sehingga kesewenang-wenangan penyidik dalam penetapan tersangka. Hal ini juga bermakna bahwa wewenang untuk menetapkan tersangka dapat diawasi oleh magistrates judge yang akan menilai kekuatan bukti dan cara perolehan bukti yang menjadi dasar penetapan tersangka tersebut. Pesan Hakim Sarpin ini juga dapat dimaknai bahwa saatnya Indonesia untuk menerapkan due process model dalam sistem hukum acara pidana.

Pesan Hakim Sarpin ini membawa konsekuensi akan perubahan di berbagai lembaga penegak hukum terutama pengorganisasian polisi di masa mendatang. Dalam hal mana pesan kedua dari Hakim Sarpin yang membedakan tugas polisi administrative dan polisi penegak hukum adalah sejalan untuk secara konsekuensi melaksanakan putusan Hakim Sarpin tersebut. Bagian selanjutnya dari tulisan ini akan menjelaskan tentang pembagian tugas pemolisian tersebut.

Polisi: Administrasi vs Penegakan Hukum
Pertimbangan Hakim Sarpin yang menyatakan bahwa jabatan karobinkar adalah jabatan administrasi dan bukan penegak hukum patut diapresiasi sebagai pemikiran futuristik untuk pembenahan organisasi kepolisian di masa mendatang. Pembedaan tugas-tugas kepolisian antara tugas administrasi dan penegak hukum adalah sejalan dengan apa yang dipaparkan Awaloedin Djamin dalam buku “Kepolisian Dahulu, Sekarang, dan Akan Datang”.

Dalam bukunya, Awaloedin membagi tugas kepolisian meliputi dan tidak terbatas pada Algemene Politie (polisi umum), Bestuur Politie (polisi pamong praja) dan Gewapende Politie (polisi bersenjata), dan Stads Politie (Polisi Kota).

Pemikiran futuristik Hakim Sarpin juga sejalan dengan Nawacita awal dari Presiden Jokowi, yang sebagaimana diberitakan sejumlah media, hendak memasukkan kepolisian di bawah kementerian Dalam Negeri. Meskipun belakangan terjadi perubahan atau bantahan dari pihak tim sukses Jokowi atas hal tersebut.

Saya mencoba untuk menjadi seorang yang konsekuen dan konsisten untuk menghormati dan melaksanakan putusan futuristik Hakim Sarpin, yang ternyata juga sejalan dengan Nawacita awal Jokowi untuk perubahan organisasi kepolisian di masa mendatang. Sebagaimana dalam penjelasan di atas maka di masa mendatang akan dibedakan antara polisi yang memiliki peran administrasi, ketertiban masyarakat dan penegakan hukum serta ada polisi bersenjata.

Berdasarkan pembagian tugas kepolisian, Technische Politie atau Reserse yang berada dalam lingkup tugas Algemene Politie dikembalikan perannya sebagai hulp magistrates (magistrat pengganti) dan berada di bawah Jaksa Agung. Dengan begitu fungsi penuntutan akan berada di bawah satu kordinasi yaitu Jaksa Agung (dominus litis) dan tidak ada lagi pemisahan kewenangan penegakan hukum. 

Pemikiran futuristik lainnya adalah adanya peran adminstrasi kepolisian yang sejatinya juga terdapat dalam lingkup algemene politie namun dari segi cabang kekuasaan negara, maka putusan sarpin dapat dimaknai adanya Bestuur Politie yang ke depan di bawah Kementerian Dalam Negeri. Peran bestuur politie ini adalah untuk melakukan pencegahan kejahatan dan untuk ketertiban masyarakat.

Apabila diperhatikan maka fungsi sabhara dan Bimmas dapat dikatagorikan sebagai bestuur politie yang akan di bawah koordinasi Kementerian Dalam Negeri. Termasuk juga Stadz Politie yang dalam hal ini di dalamnya dapat masuk katagori yaitu Polisi Lalu Lintas. Sedangkan Samsat yang memiliki peran administrasi kendaraan bermotor selanjutnya dilebur dalam dinas perhubungan pemerintah daerah.

Adapun Gewapende Politie yang dalam hal ini termasuk dan tidak terbatas pada satuan pelopor (Brimob) yang berperan dalam keamanan nasional, akan berada di bawah Badan Keamanan Nasional (National atau Homeland Security) yang dipimpin oleh Kepala Badan Keamanan Nasional dengan jenjang kepangkatan seperti layaknya Kapolri. Dengan begitu, segala bentuk tugas memelihara keamanan nasional berada di tangan gewapende politie.

Penutup
Demikianlah paparan yang dapat saya sampaikan untuk mencoba menerima secara positif dan berpikir secara futuristik atas apa yang diputuskan oleh Hakim Sarpin dalam praperadilan BG. Berat memang menginterpretasikan secara futuristik dari apa yang diputuskan Hakim Sarpin tersebut, namun itulah konsekuensi dari pemikiran futuristik yang menerima penetapan tersangka sebagai objek pengawasan untuk menegakkan hak asasi manusia serta menerapkan due process of law secara murni dan konsekuen.

Dalam sikap yang sama dengan di atas juga untuk menyikapi putusan Hakim Sarpin yang membedakan tugas kepolisian bidang administrasi dan penegakan hukum. Pemikiran futuristik dari Hakim sarpin sebagaimana yang telah saya sebutkan di atas bentuk pesan pembaruan di masa mendatang di balik kekeliruan atas penerapan hukum yang sedang berlaku (ius constitutum).

*Penulis adalah staf pengajar FHUI dan Kandidat PhD pada University of Canberra
Tags:

Berita Terkait