FDHI Prakarsai Tim Kajian UU Jabatan Hakim
Berita

FDHI Prakarsai Tim Kajian UU Jabatan Hakim

KY berharap dalam waktu dua tahun RUU Jabatan Hakim ini bisa disahkan DPR.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Koordinator FDHI, Djoe Hadisasmito. Foto: Facebook
Koordinator FDHI, Djoe Hadisasmito. Foto: Facebook
Forum Diskusi Hakim Indonesia (FDHI) bakal segera memprakarsai pembentukan Tim Kajian untuk membahas draft RUU Jabatan Hakim dari berbagai pemangku kepentingan. Forum beranggapan kebutuhan akan UU Jabatan Hakim sudah sangat mendesak terutama sejak terbitnya paket undang-undang bidang peradilan pada 2009. Perundang-undangan dimaksud mengukuhkan status hakim menjadi pejabat negara.

“Sudah sangat mendesak. Makanya, kami akan bentuk tim kajian RUU Jabatan Hakim yang disusun KY,” ujar Koordinator FDHI, Djoe Hadisasmito saat dihubungi hukumonline, Jum’at (06/2).

Djoe menerangkan draft awal RUU disusun setelah ada desakan. FDHI berkomitmen untuk memperbaiki peradilan dan profesi hakim. Selain itu, informasi yang diterimanya Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) pun tengah menyiapkan draft RUU Jabatan Hakim.

“Apakah itu draft RUU Jabatan Hakim dari KY, IKAHI, atau dari DPR, nantinya semuanya dikaji. Yang terpenting visi dan misi hakim Indonesia bisa diakomodasi dalam RUU Jabatan Hakim itu,” harapnya.

Dia mengaku kalangan hakim se-Indonesia tengah menggalang dana untuk mendukung disahkan RUU Jabatan Hakim ini. Dana yang terkumpul akan digunakan untuk membiayai acara seminar atau diskusi. Seperti, Seminar Nasional tentang UU Jabatan Hakim yang akan digelar di kampus UGM Yogyakarta, Maret 2015.

“Seminar ini sebagai gerakan pembuka agar RUU Jabatan Hakim segera dibahas semua pemangku kepentingan (stakeholders). Jadi, dana itu lebih pada operasional kegiatan FDHI, bukan sama sekali untuk lobi-lobi ke DPR,” akunya.

Setelah dilakukan kajian mendalam, lanjutnya, draft RUU Jabatan Hakim ini akan dibawa ke komplek Parlemen di Senayan agar menjadi hak inisiatif DPR. Hakim Pengadilan Negeri Dompu Nusa Tenggara Barat ini mengaku sudah melakukan pembicaraan informal dengan beberapa anggota Komisi III DPR dan mereka mendukung adanya UU Jabatan Hakim ini.

“Rencanannya, kita akan beraudiensi dengan DPR, kita sangat membutuhkan dukungan DPR karena ini sebenarnya menyangkut kepentingan nasional juga,” katanya.

Dia berharap RUU Jabatan Hakim ini bisa disahkan pada tahun 2015 ini atau setidaknya paling lambat pada 2016 bisa dibahas dan disahkan. Sebab, Pasal 23 ayat (2) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memungkinkan undang-undang dapat disahkan tanpa melalui penetapan Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

“Kalau ada syarat urgensi nasional sebuah undang-undang bisa disahkan tanpa melalui penetapan Prolegnas. Seperti layaknya penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu), ada kepentingan yang mendesak,” jelasnya.

Terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Arsil berharap RUU Jabatan bisa segera dibahas pembentuk undang-undang mulai tahun ini. Soalnya, ada kebutuhan mendesak terutama menyangkut seleksi pengangkatan hakim mengingat sudah lima tahun terakhir tidak melakukan rekrutmen.

“Kalau tidak segera melakukan rekrutmen akan terjadi gap (kesenjangan) terkait jenjang kepangkatan para hakim, nantinya bisa satu generasi hakim yang hilang,” kata Arsil.

Amanat reformasi
Ketua KY Suparman Marzuki mengakui draft RUU Jabatan Hakim yang saat ini beredar di kalangan terbatas berasal dari KY. Dia beralasan selama ini peran dan kedudukan profesi hakim belum sepenuhnya diproteksi melalui sebuah Undang-Undang tersendiri. “Jadi, kita menganggap jabatan hakim sebagai pejabat negara mesti dikuatkan dalam undang-undang tersendiri, bukan bagian dari UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara,” kata Suparman.

Dia menjelaskan sejatinya penyusunan RUU Jabatan Hakim ini merupakan amanat semangat reformasi yang memisahkan tegas antara kekuasaan eksekutif (pemerintah) dan yudikatif (lembaga peradilan).
Selain itu, urgensi UU Jabatan Hakim ini merupakan terjemahan operasional hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka/mandiri yang diperinci lebih mendalam. Mulai dari rekrutmen, sistem kepegawaian, pembinaan, pengawasan, pemberhentian termasuk jaminan hak-haknya. “RUU Jabatan ini benar-benar menempatkan hakim sebagai state aparatur, bukan government aparatur,” kata Suparman.

Satu hal terpenting dalam RUU Jabatan Hakim ini, kata Suparman, mengatur  konsekwensi kedudukan hakim sebagai pejabat negara terkait rekrutmen, sistem kepegawaian meliputi jenjang karier, kepangkatan, sistem promosi-mutasi, berikut hak-haknya. “Saya kira dengan UU Jabatan Hakim ini menjadikan masa depan hakim Indonesia jauh lebih cerah,” harapnya.

Dia juga berharap pembentuk undang-undang bisa membahas dan mengesahkan RUU Jabatan Hakim dalam waktu dua tahun ini. “Tidak boleh juga terlalu terburu-buru, karena RUU ini juga butuh kajian mendalam dan masukan sejumlah pihak. Paling cepat dua tahunlah bisa disahkan DPR.”
Tags:

Berita Terkait