Kejagung Didesak Laksanakan Eksekusi Hukuman Mati Tahap Kedua
Berita

Kejagung Didesak Laksanakan Eksekusi Hukuman Mati Tahap Kedua

Mereka terpidana mati yang terlampau lama dalam penundaan sebaiknya dialihkan menjadi hukuman seumur hidup tanpa syarat, termasuk tanpa remisi.

Oleh:
RFQ/ASH
Bacaan 2 Menit
Anggota Komisi III DPR Aboe Bakar Al Habsy (tengah). Foto: SGP
Anggota Komisi III DPR Aboe Bakar Al Habsy (tengah). Foto: SGP
Rencana Kejaksaan Agung melaksanakan eksekusi hukuman mati belum dapat dilaksanakan lantaran masih menunggu waktu yang tepat. Selain masalah teknis dan waktu, fasilitas menjadi kendala. Namun, Kejagung didesak segera bergerak cepat dengan rencana yang ada demi kepentingan penegakan hukum.

“Untuk kepentingan penegakan hukum, saya perlu mengingatkan agar Jaksa Agung melakukan eksekusi terhadap para napi sesuai dengan perencanaan yang ada,” ujar anggota Komisi III DPR Aboe Bakar Alhabsy di Jakarta, Senin (9/3).

Ia meminta pemerintah tak tergiur dengan tawaran pemerintah Australia dengan menukar terpidana warga negara Indonesia di negeri kanguru itu. Sebaliknya, pemerintah Indonesia mesti jalan terus melaksanakan hukuman sesuai sistem hukum yang berlaku di Indonesia. “Jangan ada penundaan, apalagi tukar menukar tahanan,” katanya.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu berpendapat, pelaksanaan hukuman mati sesuai dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Hal itu menunjukan kedaulatan hukum Indonesia. Terlebih, Indonesia tak mengenal model tukar menukar tahanan sebagaimana yang diusulkan pemerintah Australia.

Lebih jauh Aboe berpendapat, ketegasan pemerintah bakal berpengaruh pada efek jera terhadap bandar narkoba. Menurutnya, jika pemerintah di bawah tampuk kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla terkesan melunak dalam menyikapi berbagai intervensi luar negeri, hal itu bisa menjadi angin segar bagi bandar narkoba.

“Akibatnya efek jera dari hukuman mati akan berasa hambar, tak lagi menakutkan dan tak membawa efek jera lagi,” imbuhnya.

Terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono, berpandangan eksekusi hukuman mati semestinya tak diperkenankan terhadap terpidana yang berada dalam kondisi penundaan cukul lama. Praktik penundaan merupakan bentuk tindak penyiksaan psikologis, kejam dan tidak manusiawi. Hal itu terjadi lantaran rentang waktu antara vonis hukuman mati dengan eksekusi berlangsung lama.

“Mereka yang mengalami proses panjang berpotensi besar mendapatkan tingkat stress yang tinggi, deresi dan gangguan kejiwaan,” katanya.

Supriyadi prihatin melihat praktik dan kondisi penundaan eksekusi yang berkepanjangan di Indonesia. Ia pun merekomendasikan kondisi penundaan sebaiknya menjadi pertimbangan bagi Presiden Jokowi untuk membatalkan hukuman mati. ICJR juga menyarankan terpidana mati yang terlampau lama dalam penundaan sebaiknya dialihkan menjadi hukuman seumur hidup tanpa syarat, termasuk tanpa remisi.

“Ini lebih baik bagi para terpidana yang sudah mengalami penyiksaan karena kondisi penundaan  yang terlalu lama. ICJR melihat bahwa kebijakan ini pun sebetulnya  telah di dorong dalam Rancangan KUHP 2014-2015 versi pemerintah, di mana ada rentang 10 tahun masa transisi untuk mengalihkan hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup bagi para terpidana mati,” katanya.

Pakar hukum tata negara Andi Irman Putra Sidin berpandangan, perdebatan hukuman mati bukan terletak pada ketegasan presiden maupun kedaulatan hukum. Menurutnya, konstitusi sudah berkomitmen mencabut ruh hukuman mati.

Pasal 28 A UUD 1945 menyatakan bahwa“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Lebih lanjut, ditegaskan dalam Pasal 28 I ayat (1) uud 1945 menyebutkan bahwa “hak hidup adalah hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun”.

Menurutnya, konsep UUD 1945 tak saja melindungi warga negara Indonesia, tetapi juga warga negara asing yang tunduk pada yuridiksi kedaulatan hukum Indonesia. Dikatakan Irman, frasa konstitusi menjadi ‘setiap orang’, bukan semata ‘setiap warga negara’. “Oleh karenanya tidak ada hambatan konstitusional bagi Presiden untuk menganulir hukuman mati baik bagi WNA apalagi untuk WNI sendiri,” katanya.

Irman berpandangan, langkah yang dilakukan pemerintah Australia terhadap dua warga negaranya lantaran diberikan ruang oleh UUD 1945. Sebaliknya, langkah tersebut pun mesti dilakukan Indonesia terhadap warga negaranya jika menghadapi ancaman eksekuti  hukuman mati di negara lain.

“Karena UUD 1945 harus aktif melindugi warga negara kita akan hak hidupnya meski eksekusi mati itu atas rezim kedaulatan hukum negara lain,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait