Pemerintah Anggap Uji Materi UU PPHI Kabur
Berita

Pemerintah Anggap Uji Materi UU PPHI Kabur

Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada MK untuk memutuskan pengujian undang-undang ini.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Ruslan Irianto Simbolon selaku Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenaker di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Selasa (10/3). Foto: Humas MK
Ruslan Irianto Simbolon selaku Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenaker di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Selasa (10/3). Foto: Humas MK
Pemerintah menganggap dalil permohonan yang meminta MK memaknai Pasal 81 UU No. 2 Tahun 2004tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) sebagai bentuk permohonan PHK yang diajukan pengusaha dan tidak jelas/tegas yang diinginkan (obscuur libel/kabur). Sebab, Pasal 81 UU PPHI sebenarnya mengatur kompetensi relatif menyangkut gugatan perselisihan diajukan di wilayah pengadilan tempat buruh bekerja.

Bagi pemerintah, prinsip itu sudah berbeda dari  hukum acara yang berlaku selama ini. “Ketentuan itu mengesampingkan asas hukum acara perdata yang diatur Pasal 118 ayat (1) HIR dimana gugatan diajukan di tempat kediaman/domisili tergugat,” ujar Dirjen PPHI dan Jamsos Kemenakertrans R. Irianto Simbolon dalam sidang lanjutan pengujian UU PPHI di gedung MK, Selasa (10/2).

Pemerintah menilai tidak relevan langkah para pemohon mempersoalkan “gugatan PHK” atau “permohonan PHK” ke PHI setelah melalui tahap perundingan bipartit (internal perusahaan) dan lembaga tripartit (mediasi, rekonsiliasi, arbitrase). “Permohonan pengujian Pasal 81 UU PPHI ini tidak ada korelasinya, sehingga permohonan para pemohon kabur,” tegasnya.

Irianto menganggap dalil para pemohon tidak tepat karena telah mencampuradukkan Pasal 81 UU PPHI dengan Pasal 151 dan Pasal 152 UU Ketenagakerjaan. Menurut Irianto, keduanya beda konteks. UU PPHI merupakan hukum formil, dan UU Ketenagakerjaan merupakan hukum materil. Karena itu, anggapan para pemohon bahwa Pasal 81 UU PPHI yang tidak memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum adalah keliru.

“Justru, dengan diaturnya mekanisme beracara dalam UU PPHI, para pemohon telah diberi mendapatkan hak-haknya secara adil dalam sidang perselisihan di PHI. Karena itu, Pasal 81 UU PPHI tidak bertentangan dengan UUD 1945, seharusnya permohonan ini ditolak atau tidak diterima,” katanya.

Anggota majelis hakim MK, Suhartoyo, mempertanyakan pandangan pemerintah yang menyatakan UU PPHI merupakan ranah hukum formil, sementara UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan merupakan hukum materil. UU Ketenagakerjaan, kata Soehartoyo, juga mengandung hukum formil. Dia merujuk Pasal 152 UU Ketenagakerjaan yang menyebutkan khusus perselisihan PHK bentuknya permohonan (volunteer).

Pasal 152 ayat (1) UU Ketenakerjaan, “Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya.”

Menanggapi pertanyaan ini, Irianto mengaku belum memiliki regulasi teknis dalam bentuk permenakertrans terkait pelaksanaan Pasal 152 UU Ketenagakerjaan. Lalu, dia menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah untuk memutuskan pengujian undang-undang ini. “Kami serahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia,” katanya.

Sebelumnya, sembilan buruh/pekerja di wilayah Karawang dan Bogor diantaranya Abda Khair Mufti, Agus Humaedi Abdilah, Muhammad Hafidz, Chairul Eillen Kurniawan mempersoalkan Pasal 81 UU PPHI terkait model penyelesaian hubungan industrial (termasuk perselisihan PHK) berdasarkan gugatan (contentiosa) antara buruh dan pengusaha di PHI.

Mereka menilai model penyelesaian dengan gugatan ini mengakibatkan buruh sulit mendapatkan hak-haknya (pesangon). Faktanya, apabila pengusaha tidak menggugat PHK ke PHI, buruh akan kehilangan jaminan perlindungan dan kepastian hubungan kerjanya. Alhasil, buruh seolah “dipaksa” menggugat dengan bukti-bukti seadanya. Akibatnya, gugatan buruh seringkali ditolak PHI karena minimnya bukti-bukti yang dimiliki buruh.

Berbeda dengan pengusaha lebih menguasai bukti-bukti, semisal salinan perjanjian kerja, slip pembayaran upah, kartu tanda karyawan, atau surat PHK. Karenanya, para pemohon meminta agar Pasal 81 UU PPHI dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Gugatan perselisihan hubungan industrial, dikecualikan perselisihan PHK harus dengan ‘permohonan’ diajukan ke PHI pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat buruh bekerja”.
Tags:

Berita Terkait