Persetujuan DPR untuk Batasi Kekuasaan Presiden
Pengujian UU Polri dan TNI

Persetujuan DPR untuk Batasi Kekuasaan Presiden

Aturan pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dan Panglima TNI sudah sesuai konstitusi, TAP MPR No. VI/MPR/2000 dan VII/MPR/2000.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Kuasa Hukum Pemohon Heru Widodo berjabat tangan dengan Brigjen (Pol.) Sigit selaku Pihak Terkait seusai sidang uji materi UU Polri, Selasa (10/3). Foto: Humas MK
Kuasa Hukum Pemohon Heru Widodo berjabat tangan dengan Brigjen (Pol.) Sigit selaku Pihak Terkait seusai sidang uji materi UU Polri, Selasa (10/3). Foto: Humas MK
Sidang lanjutan pengujian UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) terkait konstitusionalitas pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI dengan persetujuan DPR. Kali ini sidang permohonan yang diajukan Guru Besar FH UGM Prof Denny Indrayana Dkk mengagendakan tanggapan DPR, pemerintah, dan TNI dan Polri selaku pihak terkait.

Keempat lembaga ini menganggap mekanisme pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI sesuai dengan sistem distribusi kekuasaan (distribution of power) yang dianut di Indonesia, bukan pemisahan kekuasaan (separation of power). Lagipula, sistem pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI dengan persetujuan DPR sebagai bentuk check and balances untuk menghindari/membatasi kekuasaan absolut presiden yang pernah terjadi di masa lalu.      

Anggota Komisi III DPR Syarifuddin Sudding menjelaskan ketentuan pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dan Panglima TNI merupakan amanat TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR No. VII/MPR/2000 tetang Peran TNI dan Peran Polri. Lalu, perannya diatur secara operasional melalui UU Polri dan UU TNI yang mengatur pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI oleh presiden dengan persetujuan DPR.       

“Ini bentuk pengawasan DPR untuk membatasi kekuasaan eksekutif yang pernah terjadi di masa lalu karena DPR lemah. Ini untuk menjaga keseimbangan dan mencegah dominasi kekuasaan presiden yang cenderung disalahgunakan secara mutlak (absolut),” kata Sudding di hadapan Majelis MK yang diketuai Arief Hidayat di Gedung MK, Selasa (10/3).

Menurutnya, latar belakang lahir ketentuan pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI sebagai konsekwensi negara hukum modern dimana ada konfigurasi saling kontrol antara lembaga eksekutif dan legislatif (check and balances) yakni prosedur pengawasan publik melalui lembaga perwakilan.

“Keterlibatan DPR untuk menyetujui atau tidak menyetujui calon Kapolri dan calon Panglima TNI dapat disebut hak konfirmasi sebagai bagian pengawasan agar sesuai konstitusi.”  

Hal senada disampaikan pemerintah yang memandang frasa “persetujuan DPR” dalam pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI sama sekali tidak bertentangan UUD 1945. Hal ini sejalan dengan putusan MK No. 27/PUU/XI/2013 mengenai pengujian UU MA dan UU KY dimana DPR hanya menyetujui calon hakim agung yang diusulkan KY. “Mekanisme itu yang menghendaki persetujuan DPR dalam rangka check and balance,” ujar Staf Ahli Bidang Hukum Lingkungan dan Pertanahan Kemenkumham, Agus Hariadi.

Selain itu, mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dan Panglima TNI dengan persetujuan DPR untuk menghindari kesewenang-wenangan kekuasaan presiden yang terjadi pada masa awal reformasi. Seperti, ketika (alm) mantan Presiden Abdurrahman Wahid mengangkat Letjen Chairuddin Ismail menggantikan Jenderal Suroyo Bimantoro selaku Kapolri tanpa persetujuan DPR. “Saat itu, menimbulkan kegaduhan dan ketidakstabilan politik,” ungkapnya.      

“Dengan demikian, aturan pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dan Panglima TNI sudah sesuai konstitusi dan TAP MPR No. VI/MPR/2000 dan VII/MPR/2000. Karenanya, tidak tepat jika frasa ‘persetujuan DPR’ telah mengurangi hak prerogatif presiden.”

Tidak menganut Trias Politica
TNI pun memandang sistem ketatanegaraan Indonesia tidak menganut teori Trias Politica (Montesquieu) yang memisahkan antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif (pemisahan kekuasaan murni). Konstitusi atau UUD 1945 sendiri menganut sistem pembagian kekuasaan dimana kekuasaan negara memiliki hubungan satu sama lain untuk menciptakan kekuasaan yang saling mengimbangi, kecuali kekuasaan yudikatif.

“Walaupun pengangkatan dan pemberhentian Panglima TNI merupakan hak prerogatif presiden, tetapi memerlukan kontrol DPR sebagai penyeimbang,” kata  Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI Mayjen S Supriyatna.   

Menurutnya, apabila pengangkatan Panglima TNI oleh presiden tanpa persetujuan DPR tidak menutup kemungkinan terdapat faktor kedekatan dan politis.Meski begitu, pengujian undang-undang ini merupakan hal baru yang ditunggu sejumlah pihak sekaligus menentukan sistem ketatanegaraan Indonesia yang sesungguhnya, khususnya dalam hal pengangkatan dan pemberhentian panglima TNI.

Sementara Kepala Biro Penyusunan Hukum pada Divisi Hukum Polri, Brigjen (Pol) Sigit Triharjanto tidak sependapat pandangan para pemohon yang hendak menerapkan sistem presidensial murni seperti yang berlaku di Amerika. Bagaimanapun, fungsisaling mengawasi antara legislatif dan eksekutif sangat diperlukan mengatasi kekhawatiran pengaruh politik yang akan mengganggu independensi penegakan hukum oleh Polri.

“Berbahaya jika kekuasaan (pengangkatan Kapolri) hanya pada eksekutif akan banyak dipengaruhi kekuatan politik. Pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI harus dihindari pengaruhi kepentingan politik yang pernah terjadi di masa lalu,” ungkapnya.

Jadi, wajar apabila Pasal 11 ayat (1)s.d.ayat (5) UU Polri menjadi bagian fungsi pengawasan legislatif terhadap presidensesuaiUUD 1945. Hal ini dimaksudkan agar presiden tidak dapat menentukan calon Kapolri menurut kepentingan kekuasaannya sendiri, tetapi harus meminta dukungan kekuasaan legislatif sebagai representasi suara rakyat yang berdaulat. ”Kita memohon agar MK menolak seluruh permohonan pengujian UU Polri dan UU TNI,” harapnya.  

Untuk diketahui, pengujian UU ini diajukan Guru Besar UGM Denny Indrayana, Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas (PuSako), Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) UGM, dan Indonesia Corruption Watch (ICW). Spesifik, mereka mempersoalkan Pasal 11 ayat (1) sampai ayat (5) UU Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pasal 13 ayat (2), (5), (6), (7), (8), (9) UU TNI.

Intinya, para pemohon mempersoalkan konstitusionalitas “persetujuan DPR” dalam proses pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI oleh presiden dihubungkan polemik pengangkatan Kapolri yang berujung konflik Polri dan KPK.

Mereka berharap hak prerogatif dikembalikan pada konsep awal yang benar dalam sistem presidensial. Karenanya, pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI dikembalikan sebagai hak prerogratif presiden tanpa persetujuan DPR dengan meminta MK menghapus frasa “persetujuan DPR” dalam pasal-pasal itu.  

Menurutnya, apabila pengujian UU ini dikabulkan dapat menjadi salah satu solusi sengkarut pengangkatan Calon Kapolri Budi Gunawan (BG). Sebab, dalam kondisi saat itu Presiden Jokowi dalam posisi sulit dalam memutuskan status BG yang telah disetujui DPR.
Tags:

Berita Terkait