Ini Cara KBRI Thailand Selamatkan WNI Terancam Hukuman Mati
Laporan dari Thailand

Ini Cara KBRI Thailand Selamatkan WNI Terancam Hukuman Mati

Indonesia perlu memformalkan praktek Plead Guilty dan Plea Bargain.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Atase Kejaksaan KBRI Thailand, R Narendra Jatna. Foto: Ali.
Atase Kejaksaan KBRI Thailand, R Narendra Jatna. Foto: Ali.

Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Pepatah ini mungkin tepat bagi kebijakan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Thailand dalam “menyelamatkan” Warga Negara Indonesia (WNI) yang terancam hukuman mati. Caranya, memahami hukum yang ada di Thailand dan memanfaatkan celah hukum yang ada.

Salah satunya adalah dengan meminta WNI yang terancam hukuman mati, misalnya kejahatan berat seperti menyelundupkan narkotika, untuk mengakui perbuatannya, dan tidak menyangkal di pengadilan.

Atase Kejaksaan KBRI Thailand, R Narendra Jatna menjelaskan bahwa sistem hukum Thailand memang memberikan apresiasi tinggi kepada terdakwa yang mengakui kesalahannya atau menyatakan “plead guilty”. Jika terdakwa mau mengaku bersalah, maka tuntutan bisa dikurangi.

“Jadi, saat dibacakan dakwaan, terdakwa diberi kesempatan, kamu mau ngaku nggak? Kalau nggak ngaku, masih akan diberi kesempatan kedua. Kalau ngaku, maka proses sidangnya lebih cepat dan diturunkan ancaman hukumannya,” jelas Narendra kepada hukumonline di Bangkok, Thailand, Kamis (5/3).

Narendra menjelaskan sudah ada beberapa Warga Negara Indonesia (WNI) yang lolos dari hukuman mati dengan sistem ini. Di antaranya dalam kasus penyelundupan narkoba yang beratnya sekilo atau dua kilo saja ancaman hukumannya bisa langsung mati. “Tapi, kalau plead guilty, bisa turun,” ujarnya lagi.

Di sinilah Atase Kejaksaan pada KBRI Thailand memainkan perannya. Yakni, memberikan nasehat hukum kepada WNI yang sedang terjerat kasus. “Kalau dia ‘plead guilty’ kan bisa susut. Kita sudah sampaikan, terserah kamu mau nggak mengakui perbuatan. Tugas kami untuk menjelaskan. Ini risikonya,” ujarnya.

Narendra menjelaskan beberapa WNI masih menganggap bahwa dirinya sebagai terdakwa bisa menggunakan “hak menyangkat” sebagaimana sistem hukum yang berlaku di Indonesia. “Kalau di Indonesia, kamu ngotot nggak mau ngaku, nggak salah juga. Cuma kami ingatkan, di sini risikonya seperti ini,” jelasnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait