Indonesia-Malaysia Sepakat Cegah TKI Non Prosedural
Berita

Indonesia-Malaysia Sepakat Cegah TKI Non Prosedural

Penempatan buruh migran sektor domestik akan dilakukan lewat mekanisme satu pintu.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Terminal kedatangan khusus TKI  di Bandara Sukarno-Hatta. Foto: ilustrasi (Sgp)
Terminal kedatangan khusus TKI di Bandara Sukarno-Hatta. Foto: ilustrasi (Sgp)
Pemerintah Indonesia dan Malaysia bersepakat mencegah penempatan buruh migran Indonesia secara non prosedural ke Malaysia. Kesepakatan itu tercapai dalam pembicaraan petinggi kementerian ketenagakerjaan kedua negara. Ini adalah bagian dari perbaikan penanganan buruh migran asal Indonesia yang bekerja di Malaysia.

Menteri Ketenagakerjaan Indonesia, M. Hanif Dhakiri, menyebut kedua negara sepakat menutup akses yang kerap digunakan untuk menempatkan buruh migran Indonesia secara non prosedural. Caranya, menerapkan kebijakan satu pintu untuk pekerja sektor domestik. Indonesia hanya menempatkan buruh migran ke Malaysia melalui jalur legal. Senada, Malaysia hanya menerima buruh migran Indonesia yang menggunakan jalur legal.

Indonesia dan Malaysia juga sepakat menjatuhkan sanksi hukum kepada pihak-pihak yang mengirim pekerja melalui jalur non-prosedural, sesuai hukum negara masing-masing. “Harus dihukum sesuai dengan ketentuan dan undang undang di negara yang bersangkutan,” kata Hanif di Jakarta, Senin (16/3).


Hanif yakin kebijakan satu pintu itu dapat menekan dan menghentikan penempatan buruh migran non prosedural.  “Saya selalu minta itu untuk dikaitkan. Intinya adalah bagaimana penempatan TKI bisa berjalan secara resmi melalui saluran resmi. Namun mereka harus menjawab apakah saluran tunggal yang resmi ini bisa mencegah jebolnya saluran-saluran yang tidak resmi? Itu yang harus ditekankan,“ ujarnya.

Menteri Sumber Daya Manusia (SDM) Malaysia, Dato Sri Richard Riot Anak Jaem, berharap buruh migran, terutama asal Indonesia, yang bekerja di Malaysia menggunakan prosedur resmi. “Pernyataan Government to Government ini sangat penting. Agensi-agensi yang ilegal ini adalah haram, Ilegal ini artinya agensinya tidak diakui oleh pemerintah Malaysia. Pokoknya skema satu saluran yang harus ditepatkan dan dimajukan,” paparnya.

Kebijakan menangani buruh migran bukan tanpa hambatan. Menurut Richard, Kementerian SDM Malaysia tak berwenang menangkap buruh migran yang melanggar aturan. Sesuai hukum Malaysia, kewenangan ada di Kementerian Dalam Negeri. “Kita harus memastikan, dan kita hendak menyampaikan bahwa pekerja yang masuk harus lewat mereka. Namun soal penangkapan bagi yang melanggar itu di bawah Menteri Dalam Negeri, di luar kewenangan saya,” kata Richard Riot.

Terpisah, Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, mengingatkan agar kebijakan satu pintu yang dimaksud jangan sampai membuat proses perlindungan dan penempatan buruh migran jadi terpusat sehingga kewenangan pemerintah daerah minim. Padahal, untuk membenahi pengelolaan perlindungan dan penempatan buruh migran, pemerintah daerah harus terlibat aktif. Menurutnya, hal tersebut perlu dimasukan dalam revisi UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN).

“Jangan sampai rencana kebijakan satu pintu itu bertentangan dengan revisi UU PPTKILN,” tutur Anis kepada hukumonline lewat telpon, Selasa (17/3).

Tak ketinggalan Anis mengusulkan agar pemerintah tidak hanya menerbitkan satu kebijakan saja untuk menuntaskan masalah penempatan buruh migran non prosedural. Sebab persoalannya meliputi banyak hal seperti perbatasan antara Indonesia-Malaysia yang luas meliputi darat dan laut. Ditambah lagi masalah manajemen dalam mengelola perbatasan oleh kedua negara itu kurang optimal.

“Manajemen perbatasan Indonesia-Malaysia harus diperbaiki. Banyak aparat terlibat dalam penyelundupan orang sementara penegakan hukum minim,” pungkas Anis.
Tags:

Berita Terkait