Pemerintah Dinilai Minim Lindungi Anak dari Bahaya Rokok
Berita

Pemerintah Dinilai Minim Lindungi Anak dari Bahaya Rokok

Ada sekitar 250 ribu bayi dan anak yang merokok di Indonesia.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Tanda larangan merokok. Foto: SGP
Tanda larangan merokok. Foto: SGP
Pemerintah dinilai minim dalam melindungi bayi dan anak dari bahaya rokok. Menurut Pengurus Bidang Pengembangan Dukungan Medik Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), Hakim Soramuda Pohan, itu terlihat dari pembiaran yang dilakukan pemerintah. Bentuk pembiaran itu adalah belum ditegakkannya aturan larangan merokok.

Soramuda menyebut bahaya rokok sama seperti narkotika. Ia mencatat di Indonesia setiap hari 27 orang meninggal akibat penyakit yang disebabkan oleh rokok. Sayangnya, pemerintah tidak peduli akan hal tersebut. Itu terbukti dari meningkatnya jumlah anak yang merokok di Indonesia, dalam 10 tahun terakhir jumlah anak yang merokok per tahun kenaikannya mencapai 17 persen.

"Pemerintah harus sadar kalau negara ini tenggelam dalam pasar candu," kata Soramuda dalam diskusi yang digelar Komnas PT di Jakarta, Rabu (18/3).

Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan pemerintah tidak melindungi anak dari bahaya rokok. Menurut dia, peningkatan jumlah anak yang merokok di Indonesia tercepat di dunia. "Itu terjadi karena pemerintah melakukan pembiaran," ujarnya.

Menurut Tulus, kasus baby smoker hanya ada di Indonesia. Dari data yang dilansir Dinas Kesehatan (Dinkes) Kalimantan Selatan, ada 15 ribu baby smoker di provinsi itu. Bahkan Tulus memperkirakan jumlah baby smoker di Indonesia mencapai ratusan ribu. "Diperkirakan ada 250 ribu baby smoker di Indonesia," tukasnya.

Tulus menyebut tingginya jumlah baby smoker di Indonesia disebabkan berbagai hal. Di antaranya penegakan hukum dan pengawasan yang lemah. Misalnya, Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 yang melarang rokok dijual kepada orang berusia di bawah 18 tahun, tidak terimplementasi dengan baik. Faktanya, banyak penjual rokok yang melayani pembeli rokok yang usianya di bawah 18 tahun.

"Survei YLKI menunjukkan penjual rokok tidak menolak pembeli yang usianya di bawah 18 tahun," paparnya.

Belum tuntas persoalan yang disebabkan oleh rokok konvensional itu, dikatakan Tulus, pemerintah menghadapi tantangan baru yakni maraknya peredaran rokok elektronik (e-cigarette). Ia menyebut pihaknya telah bertemu dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) guna mendesak pemerintah melarang peredaran rokok elektronik.

Parahnya, Tulus melanjutkan, pemerintah membiarkan peredaran rokok yang isinya nikotin cair itu dengan alasan tidak ada regulasinya. "Kalau regulasinya tidak ada, pemerintah harusnya menerbitkan peraturan itu. Negara lain sudah mengatur peredaran rokok elektronik," tegasnya.

Jika pemerintah tidak mengatur ketat peredaran rokok elektronik itu, Tulus yakin potensi anak terkena bahaya rokok semakin besar. Dan bakal bertambah parah karena pemerintah sampai sekarang belum meratifikasi konvensi pengendalian tembakau (FCTC). Padahal, sebagian besar negara di dunia sudah meratifikasi konvensi yang mengendalikan peredaran produk tembakau itu.

CSR Washing
Pemerhati Corporate Social Responsibility (CSR), Jalal, mengatakan CSR yang dilakukan perusahaan rokok kerap disebut CSR 'washing' atau CSR 'abal-abal.' Sebab, CSR yang digulirkan oleh perusahaan rokok tidak bisa disebut sebagai tanggungjawab sosial. Sebab, secara global telah disepakati produk yang dihasilkan industri tembakau itu kontroversial karena berbahaya bagi kesehatan. "Itu sudah jadi kesepakatan global sejak 2004," ucapnya.

Jalal menjelaskan salah satu acuan yang digunakan secara internasional untuk menggelar program CSR adalah ISO 26000. Dalam standar ISO itu diatur syarat-syarat bagaimana CSR dapat dilaksanakan. Diantaranya, CSR ditujukan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan, kesejahteraan dan kesehatan masyarakat. Sementara, produk yang dihasilkan industri rokok dampaknya bertentangan dengan itu.

Jalal mengatakan ISO itu sifatnya panduan. Sebagian besar negara maju menuangkan ISO dalam bentuk regulasi. "Aturan yang ada dalam ISO 26000 itu bisa dijadikan basis regulasi nasional," katanya.
Tags:

Berita Terkait