Pengawas Ketenagakerjaan Setelah UU Pemda Baru
Berita

Pengawas Ketenagakerjaan Setelah UU Pemda Baru

Sekarang pengawas ketenagakerjaan bukan lagi urusan pemerintah kabupaten/kota.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Menaker Hanif Dhakiri (baju putih). Foto: RES
Menaker Hanif Dhakiri (baju putih). Foto: RES
Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri, meminta pengawas ketenagakerjaan diperkuat. Untuk memperkuat kapasitas pengawas ketenagakerjaan itu, perlu koordinasi dan kerjasama Kemenaker dan Kementerian Dalam Negeri serta pemerintah provinsi. Kerjasama itu juga menjadi bagian dari implementasi UU No. 23 Tahun 2014 --sebagaimana diubah dengan UU No. 2 Tahun 2015 --tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang ini, kata Hanif, mengamanatkan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan jadi urusan bersama antara pemerintah pusat dan daerah (pemprov). “Kerjasama ini untuk memperkuat kembali kinerja pengawas ketenagakerjaan di daerah-daerah sekaligus membenahi sistem pengawas ketenagakerjaan nasional,“ katanya di Jakarta, Minggu (22/3).

Hanif menjelaskan dalam regulasi itu pemerintah pusat berwenang menetapkan sistem pengawasan dan mengelola petugas pengawas ketenagakerjaan. Pemprov berwenang menyelenggarakan pengawasan ketenagakerjaan.

Menurut sang Menteri, UU No. 23 Tahun 2014 memperkuat kembali pengawasan ketenagakerjaan di daerah. Ia mengakui selama ini kualitas dan kuantitas pengawasan ketenagakerjaan di daerah kondisinya memprihatinkan. Kerjasama kementerian dan Pemprov akan mengembalikan profesionalisme pengawasan ketenagakerjaan di daerah agar dapat bekerja secara maksimal. “Sehingga personilnya tidak bisa lagi dipindah-pindah sembarangan oleh kepala daerah tertentu,” ujar Hanif.

Kemenaker mencatat akhir 2014 jumlah pengawas ketenagakerjaan 1.776 orang. Mereka bertugas mengawasi 265.209 perusahaan. Idealnya, dibutuhkan 4.452 petugas pengawas ketenagakerjaan sehingga masih ada kekurangan 2.676 orang pengawas. Dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, 155 kabupaten/kota belum punya pengawas ketenagakerjaan.

Hanif menilai sejak UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diberlakukan terjadi perubahan signifikan dalam pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan. Yakni penyelenggaraan yang tadinya sentralisasi menjadi desentralisasi. Sehingga memberi kewenangan besar kepada pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengelola pengawasan ketenagakerjaan.

“Namun aspek pengawasan ketenagakerjaan dalam era otonomi daerah yang dilaksanakan oleh kabupaten/kota, seringkali tidak berjalan optimal karena sering dipengaruhi oleh kepentingan praktis, menarik investasi dan kepentingan memperoleh pendapatan asli daerah,“ papar Hanif.

Anggaran yang terbatas juga jadi kendala pengawasan ketenagakerjaan. Kemudian, tingkat mutasi pegawai yang tinggi serta penempatan pegawai tidak sesuai kompetensinya. Ditambah lagi tidak tersedianya sarana dan prasarana pengawasan ketenagakerjaan. “Kondisi ini dapat memperlemah perlindungan terhadap masyarakat dalam mencapai keadilan dan kesejahteraan, sehingga dirasa perlu diperkuat kembali dengan terbitnya UU  No. 23 Tahun 2014,” tukasnya.

Kementerian sedang menyusun peta jalan penataan penyelenggaraan pengawasan ketenagakerjaan. Haif meminta asisten daerah dan kepala dinas yang membidangi ketenagakerjaan di provinsi menyiapkan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan, dan melakukan inventarisasi personil, peralatan, prasarana dan dokumentasi (P3D). Mereka juga diminta memberi masukan dalam rangka penyusunan norma standar pedoman kriteria (NSPK) penyelenggara pengawasan ketenagakerjaan.

Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, mengatakan pengawasan ketenagakerjaan salah satu faktor penting untuk menunjang terlaksananya hubungan industrial yang baik dilokasi kerja. Dengan pengawasan yang baik masalah hubungan industrial tergolong mudah diselesaikan. Tapi faktanya, pengawasan ketenagakerjaan yang ada sekarang sangat lemah. Itu disebabkan oleh berbagai hal seperti regulasi, otonomi daerah, itikad baik pengawas dan alokasi anggaran.

Menurut Timboel, setelah UU Pemda baru (2014) terbit, urusan pengawasan ketenagakerjaan jadi wewenang pemerintah pusat dan pemprov. Ini, kata dia, langkah baik dalam rangka membenahi pengawasan ketenagakerjaan. Minimnya jumlah pengawas ketenagakerjaan merupakan masalah klasik yang selalu dikeluhkan, tetapi  sampai sekarang belum ada solusinya. Alhasil, kekurangan tenaga pengawas terus terjadi.

Sebagai solusi jangka pendek, Timboel mengusulan agar petugas pengawas ketenagakerjaan di kabupaten/kota dialihkan jadi pengawas ketenagakerjaan di provinsi. Sehingga petugas pengawas itu bertanggung jawab langsung kepada Gubernur Cq Kepala Dinas Ketenagakerjaan Provinsi. Mediator ketenagakerjaan di tingkat provinsi bisa dilatih untuk jadi pengawas ketenagakerjaan, atau merekrut staf dari bagian lain atau petugas baru.

Penambahan kuantitas pengawas ketenagakerjaan itu menurut Timboel juga harus dibarengi peningkatan kualitas. Salah satu caranya dapat dilakukan dengan meningkatkan status pegawai pengawas ketenagakerjaan menjadi penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dan pengawas spesialis. Ia mencatat jumlah pengawas PPNS sekarang hanya 563 orang dan spesialis 361 orang.

“Peningkatan jumlah PPNS sangat dibutuhkan karena keterkaitan dengan peran PPNS dalam proses penyidikan terkait pelanggaran hak normatif yang mengandung unsur pidana. Seperti pelanggaran upah minimum, hak berserikat dan hak atas jaminan sosial,” papar Timboel kepada hukumonline di Jakarta, Senin (23/3).

Selain itu dibutuhkan juga perangkat untuk mengawasi kinerja pengawas ketenagakerjaan. Itu bisa dilakukan dengan melibatkan tripartit di pusat dan daerah sebagai pengawas petugas pengawas ketenagakerjaan.

Timboel juga mendesak agar pengawas ketenagakerjaan dibuat aktif, bukan pasif seperti selama ini yang hanya menerima laporan dari buruh. Ke depan, petugas pengawas harus aktif menyambangi setiap perusahaan. “Petugas pengawas jangan alergi atau malas menemui serikat buruh. Begitu pula serikat buruh, harus proaktif menemui pengawas bila ada masalah normatif,” usulnya.

Terakhir, pengawasan ketenagakerjaan harus didukung oleh anggaran yang memadai. Timboel mencatat beberapa kasus ketenagakerjaan yang dilaporkan buruh lambat ditindaklanjuti pengawas dengan dalih minimnya anggaran. Sehingga pengawas beralasan tidak punya dana untuk menyambangi perusahaan yang dilaporkan buruh. “Keluhan seperti itu sering dilontarkan petugas pengawas, tidak terkecuali di dinas tenaga kerja Provinsi DKI Jakarta,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait