DPR Bantah Diskriminasi Guru PNS dan Non-PNS
Berita

DPR Bantah Diskriminasi Guru PNS dan Non-PNS

Pasal-pasal yang dimohonkan pengujian harus tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Isak tangis saksi yang dihadirkan pihak pemohon selaku guru honorer seusai memberikan kesaksian di depan persidangan perkara uji materi UU Guru dan Dosen, Senin (23/3). Foto: Humas MK
Isak tangis saksi yang dihadirkan pihak pemohon selaku guru honorer seusai memberikan kesaksian di depan persidangan perkara uji materi UU Guru dan Dosen, Senin (23/3). Foto: Humas MK
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menganggap ketentuan peningkatan kualifikasi akademik, sertifikasi guru, dan hak memperoleh penghasilan merupakan legal policy pembuat undang-undang. Hal ini semata-mata dimaksudkan untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran yang berfungsi meningkatkan mutu pendidikan.

Lagipula, sesuai definisi Pasal 1 angka 1 UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen adalah guru secara umum dan tidak ada pembedaan (dikskriminasi) antara guru berstatus PNS dan non-PNS. “Anggapan para pemohon frasa ‘guru dalam jabatan’ dalam Pasal 13 UU Guru dan Dosen ditafsirkan hanya guru PNS, tidak berdasar atau subjektif,” ujar Anggota Komisi III DPR, Didik Mukrianto dalam sidang pengujian UU Guru dan Dosen dan UU Sisdiknas di gedung MK, Senin (23/3).

Didik menegaskan dalam Pasal 1 angka 1 UU Guru dan Dosen tidak mengklasifikasikan guru menjadi Guru Tetap dan dan Guru Tidak Tetap. Sebab, makna guru dalam pasal tersebut bermakna umum. Pasal 1 angka 1 berbunyi, “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.”

Selain itu, guru yang memperoleh gaji, tunjangan profesi/fungsional yang dimaksud Pasal 14 ayat (1) huruf a dan Pasal 15 ayat (1) UU Guru dan Dosen hanyalah guru tetap juga tidak tepat. Sebab, Pasal 14 ayat (1) huruf a UU Guru dan Dosen, menyatakan setiap guru yang menjalankan tugas profesionalnya memang berhak menerima gaji, tunjangan profesi atau fungsional.

Karena itu, UU Guru dan Dosen tidaklah bersifat diskriminatif dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena sejalan dengan asas kepastian hukum, keadilan, dan antidiskriminasi. “Faktanya, ketentuan itu telah memberikan kesempatan bagi semua guru mengikuti sertifikasi yang dibiayai pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat,” lanjutnya.
Demikian pula pengujian Pasal 49 ayat (2) UU Sisdiknas yang dianggap para pemohon menimbulkan ketidakpastian hukum karena sejak 2005 guru non-PNS tidak lagi memperoleh gaji dari APBN. DPR menilai tidak ada hubungan sebab akibat antara kerugian konstitusional para pemohon dengan pasal itu karena hanyalah persoalan penerapan norma.

DPR berpendapat Pasal 49 ayat (2) UU Sisdiknas telah memberi kepastian hukum mengenai pengalokasian gaji guru dan dosen yang diangkat dalam APBN, sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. “Pasal-pasal yang dimohonkan pengujian harus tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat,” harapnya.

Sebelumnya, pengujian UU Guru dan Dosen yang teregister nomor 10/PUU-XIII/2015 ini dimohonkan enam guru non-PNS yang telah bertahun-tahun mengajar di sekolah negeri di Banyuwangi diantaranya Fathul Hadie Utsman, Sanusi Afandi, Saji, Ahmad Aziz Fanani. Mereka memohon pengujian Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) huruf a, Pasal 15 ayat (1), (2) UU Guru dan Dosen terkait sertifikasi guru, sertifikat pendidik, penerimaan gaji dan tunjangan profesi.

Ketentuan itu dinilai diskriminasi (perlakuan berbeda) dan menimbulkan ketidakadilan antara guru PNS dan guru non-PNS terkait hak mendapatkan sertifikasi guru, sertifikat pendidik, penerimaan gaji, penerimaan tunjangan profesi. Soalnya, hanya guru PNS yang bisa memperoleh hak-hak itu, sementara guru non-PNS tidak berhak. Karenanya, mereka menilai pasal-pasal itu bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Perkara register 11/PUU-XIII/2015 terkait pengujian Pasal 49 ayat (2) UU Sisdiknas dimohonkan oleh Fathul Hadie Utsman, Sumilatun, Aripin, Hadi Suwoto, Sholehudin yang berstatus sebagai guru kontrak sekolah swasta. Ketentuan itu juga dinilai diskriminasi antara guru tetap, guru negeri, dan guru swasta. Padahal, aturan itu menyebut anggaran gaji guru dan dosen yang diangkat oleh pemerintah dialokasikan melalui APBN.

Selain itu, terbitnya PP Nomor 74 Tahun 2008 menyebut yang berhak memperoleh sertifikasi guru hanya guru tetap, guru negeri dan guru swasta. Sementara guru tidak tetap dan guru kontrak tidak berhak memperoleh sertifikasi. Karenanya, mereka berharap MK menafsirkan Pasal 49 ayat (2) UU Sisdiknas sepanjang dimaknai termasuk guru kontrak/bantu ditetapkan sebagai CPNS, sehingga berhak mendapatkan tunjangan profesi guru.
Tags:

Berita Terkait