UU Administrasi Pemerintahan “Trigger” Berantas Korupsi
Utama

UU Administrasi Pemerintahan “Trigger” Berantas Korupsi

Efektivitas UU Administrasi Pemerintahan belum bisa diukur apakah UU ini mendukung atau melemahkan pemberantasan korupsi.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Seminar yang dilaksanakan dalam rangka ulang tahun Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) di Jakarta, Kamis (26/3). Foto: RES
Seminar yang dilaksanakan dalam rangka ulang tahun Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) di Jakarta, Kamis (26/3). Foto: RES
Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan lahir sebagai trigger (pemicu) dalam upaya penegakan hukum administrasi sekaligus memberantas tindak pidana korupsi yang hingga saat ini marak dalam birokrasi pemerintahan. Sebab, pada dasarnya rezim hukum administrasi dan hukum pidana (korupsi) memiliki peran yang sama dalam upaya pemberantasan korupsi.

Pemaparan itu disampaikan oleh Guru Besar Hukum Administrasi Unhas Prof Guntur Hamzah dalam Seminar Nasional dengan topik “Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, Menguatkan atau Melemahkan Upaya Pemberantasan Korupsi”. Seminar ini diselenggarakan dalam rangka merayakan HUT IKAHI ke-62 yang dihadiri semua pengurus daerah dan cabang IKAHI seluruh Indonesia dan jajaran pejabat dan pimpinan MA.

Selain Prof Guntur, tampil sebagai narasumber dalam seminar nasional ini Wakil Jaksa Agung Andi Nirwanto, Staf Ahli Mendagri Prof Zudan Arif Fakhrulloh, dan Guru Besar Hukum Pidana Unpad Prof Romli Atmasasmita.

Guntur mengungkapkan Pasal 17 UU Administrasi Pemerintahan melarang tegas pejabat pemerintahan menyalahgunakan wewenang. Sebab, jika tindakan penyalahgunaan wewenang ini sudah dicegah (upaya preventif) dalam birokrasi pemerintahan melalui Aparatur Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), maka sudah tidak ada lagi unsur tindak pidana korupsi. “Norma inilah yang men-trigger lahirnya UU Adminitrasi Pemerintahan dalam kaitannya upaya pemberantasan korupsi,” tegasnya.

Dia melanjutkan peran APIP ini mengawasi dan mengidentifikasi terjadi indikasi penyalahgunaan wewenang baik bersifat pelanggaran administrasi maupun pelanggaran administrasi yang mengandung unsur kerugian keuangan negara. “Jadi, pelanggaran administrasi yang merugikan uang negara bisa selesai di tingkat administrasi pemerintahan, tetapi jika ditemukan mens rea (niat jahat) masuk wilayah pidana (korupsi)”.

Karena itu, menurutnya keberadaan UU Administrasi Pemerintah ini memperkuat dan menambah daya dobrak upaya pemberantasan korupsi. Sebab, adanya dugaan penyalahgunaan wewenang sudah dideteksi sejak awal sebagai upaya preventif (pencegahan). “Bukankah upaya preventif sejak awal jaun lebih baik daripada penyelesaian tindakan represif,” katanya.

Andi Nirwanto mengingatkan makna wewenang dan kewenangan memiliki implikasi hukum  yang berbeda. Wewenang ini adalah hak pejabat pemerintah mengambil keputusan dalam menyelenggarakan pemerintah, sedangkan kewenangan kekuasaan pejabat pemerintah untuk bertindak dalam ranah hukum publik.

“Jadi ketika ada penyalahgunaan wewenang oleh pejabat bisa digugat ke PTUN, sementara penyalahgunaan kewenangan tidak hanya berimplikasi hukum administrasi, tetapi juga pidana (korupsi),” ujarnya menjelaskan. “Penyalahgunaan wewenang ini meliputi melampaui wewenang, mencampuradukan wewenang, bertindak sewenang-wenang. Jadi, saya pikir UU Administasi Pemerintahan bukan persoalan melemahkan atau menguatkan.”

Prof. Zudan mengatakan UU Administrasi Pemerintahan merupakan hilir dan hulunya ada di UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Konsep terpenting dalam UU Administrasi Pemerintahan ini ada empat yakni tindakan, keputusan, wewenang, dan kewenganan. “Filosofisnya, UU Administrasi Pemerintahan ini ingin mewujudkan good governance dengan mengadopsi restorative justice dan upaya preventif,” sambung Zudan.

Akan tetapi, dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah unsur penindakan dan pencegahan secara bersama-sama. Indikatornya, masyarakat masih diberi kesempatan melaporkan dugaan penyalahgunaan kewenangan kepada aparat penegak hukum dan berkoordinasi dengan aparat pengawas internal pemerintah, seperti APIP, BPKP, inspektorat jenderal, atau inspektorat provinsi.

“Kalau laporan itu bersifat administratif diselesaikan melalui pengawasan internal pemerintah, tetapi kalau ada indikasi pidana tetap ditangani aparat penegak hukum,” paparnya.

Dengan begitu, efektivitas UU Administrasi Pemerintahan belum bisa diukur apakah UU ini mendukung atau melemahkan pemberantasan korupsi. Sebab, keberhasilan sistem hukum tergantung pada legal substance, legal structure, legal culture. “Karena UU Administrasi Pemerintahan ini hanya satu subsistem yakni legal substance, maka kita harus melihat struktur hukum dan budaya hukumnya bagaimana komitmen kita semua.”
Tags:

Berita Terkait