IKAHI Persoalkan Keterlibatan KY dalam Seleksi Hakim
Utama

IKAHI Persoalkan Keterlibatan KY dalam Seleksi Hakim

Ajukan hak uji materi atas beberapa pasal UU Peradilan Umum, UU Peradilan Agama, dan UU Peradilan TUN.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Suhadi (kanan), salah satu pimpinan IKAHI yang menjadi pemohon. Foto: Sgp
Suhadi (kanan), salah satu pimpinan IKAHI yang menjadi pemohon. Foto: Sgp
Di tengah rencana seleksi pengangkatan hakim (SPH) yang sementara menggunakan sistem CPNS oleh pemerintah dengan melibatkan MA dan KY melalui Peraturan Bersama tentang Rekrutmen Calon Hakim, Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia (PP IKAHI) justru mempersoalkan kewenangan KY terlibat dalam SPH.

Protes IKAHI ini diwujudkan lewat pengujian tiga paket undang-undang peradilan ke MK yang mengamanatkan SPH di tiga lingkungan peradilan dilakukan bersama antara MA dan KY. Tercatat sebagai pemohonnya yakni jajaran PP IKAHI yakni Ketua Umum IKAHI Imam Soebechi, Ketua I IKAHI Suhadi, Ketua II IKAHI Prof Abdul Manan, Ketua III IKAHI Yulius, Ketua IV IKAHI Burhan Dahlan, dan Sekretaris Umum IKAHI Soeroso Ono.

Secara khusus, IKAHI memohon pengujian Pasal 14A ayat (2), (3) UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2), (3) UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan Pasal 14A ayat (2), (3) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). IKAHI telah meregistrasi pengujian ketiga undang-undang ini beberapa hari yang lalu.

“Perkara ini baru didaftarkan pada 27 Maret 2015 kemarin melalui kuasa hukumnya (Lilik Mulyadi dkk). Hari sidangnya belum bisa ditentukan karena masih diproses,” ujar salah satu staf Kepaniteraan MK, Selasa (31/3).

Pasal 14A ayat (2) UU Peradilan Umum menyebutkan “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.”

Dalam permohonannya, IKAHI mengganggap kewenangan KY terlibat dalam proses SPH mendegradasi peran IKAHI dalam upaya menjaga kemerdekaan (independensi) peradilan melalui perwujudan tugas hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, seperti diamanatkan Pasal 24 UUD 1945. Selain itu, Pasal 21 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan organisasi, administrasi, dan finansial MA dan badan peradilan di bawah berada di bawah kekuasaan MA.

“Adanya lembaga di luar MA, ikut serta dalam rekrutmen hakim akan menghambat jalannya proses generasi hakim. Bahkan, membelenggu kemerdekaan hakim dalam penyelenggaraan peradilan karena adanya ketergantungan pada KY. Meskipun, proses seleksi calon hakim sebagai pejabat negara hingga saat ini belum ada aturannya,” sebut IKAHI dalam permohonannya.  

Menurutnya, ketiga pasal itu khususnya kata “bersama” dan frasa “dan Komisi Yudisial potensial dikualifikasi melanggar prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dijamin Pasal 24 UUD 1945. Karenanya, kata “bersama” dan frasa “dan Komisi Yudisial” harus dianggap bertentangan dengan Pasal Pasal 24, Pasal 24B ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.  

Karena itu, IKAHI meminta MK memberi tafsir konstitusional terhadap ketiga pasal sepanjang dimaknai SPH di tiga lingkungan peradilan dilakukan oleh MA (tanpa melibatkan KY). “Frasa ‘diatur bersama oleh MA dan KY’ dalam Pasal 14A ayat (3) UU Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (3) UU Peradilan Agama, Pasal 14A ayat (3) UU PTUN bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘diatur dengan undang-undang’,” pintanya.    

Dimintai pandangannya, Komisioner KY Bidang Rekrutmen Hakim Taufiqurohman Syahuri mempertanyakan sikap IKAHI yang mempersoalkan kewenangan KY untuk terlibat dalam SPH bersama MA. “Apa motivasi pemohon? Bukankah pembentuk UU telah memilih SPH calon hakim agama, umum dan TUN sebagai pilihan politik hukum?” ujar Taufiq saat dihubungi wartawan.

Taufiq menganggap aturan kewenangan KY dalam proses SPH sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, dalam UUD 1945 sendiri tidak ada yang menyebutkan bahwa kewenangan SPH atau rekrutmen hakim hanya dilakukan oleh MA. Menurutnya, isyarat SPH oleh MA dan KY dapat dilihat dengan KY berwenang mengusulkan calon hakim agung dengan persetujuan DPR.

”Kalau ‘bapaknya’ (hakim agung) saja diusulkan oleh KY, ya ‘anak-anaknya’ (hakim) tentu boleh dong kalau politik hukum memilih seleksi pengangkatan hakim oleh KY dan MA,” dalihnya.
Tags:

Berita Terkait