Ahli Sarankan Proses PHK dengan Perizinan
Berita

Ahli Sarankan Proses PHK dengan Perizinan

Ada ketidakpastian yang dialami buruh.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Timboel Siregar. Foto: SGP
Timboel Siregar. Foto: SGP
Pengamat hukum perburuhan Timboel Siregar menyarankan model penyelesaian hubungan industrial dengan gugatan yang dianut Pasal 81 UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) dikembalikan melalui proses perizinan PHK. Seperti yang pernah berlaku dalam UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dimana proses PHK cukup dengan permohonan izin PHK melalui P4D.

“Proses penyelesaian gugatan PHK saat ini membuat pemberi kerja (pengusaha) pasif, sehingga memaksa pekerja yang sudah di-PHK aktif menggugat ke PHI. Makanya, saya usulkan lebih pas Pasal 81 UU PPHI diubah dengan model permohonan izin PHK, tidak dalam bentuk gugatan,” ujar Timboel saat dimintai keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian UU PPHI di gedung MK, Selasa (31/3).

Timboel juga menilai Pasal 81 UU PPHI mengandung ketidakkonsistenan dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di satu sisi, UU Ketenagakerjaan yang mengamanatkan lahirnya UU PPHI. Di sisi lain, Pasal 152 UU Ketenagakerjaan sendiri secara khusus menyebutkan perselisihan PHK bentuknya permohonan (volunteer) melalui PHI.

“Saya melihat ada inkonsistensi antara UU PPHI dan UU Ketenagakerjaan yang menyebut PHK harus dengan izin PHI,” kata pria yang masih tercatat sebagai Sekjen Organisasi Pekera Seluruh Indonesi (OPSI) ini.

Pasal 152 ayat (1) UU Ketenakerjaan, “Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya.”

Dia melanjutkan dalam praktiknya berlakunya Pasal 81 UU PPHI mengakibatkan ketidakpastian bagi buruh/pekerja ketika di-PHK pemberi kerja. “Apakah dia masih dalam posisi bekerja atau tidak, sementara dia tidak boleh lagi bekerja karena sudah di-PHK. Jadi, seolah ada penghapusan model permohonan izin PHK lewat pengadilan, karena selama ini izin PHK harus dengan gugatan ke PHI,” lanjutnya.

“Kalaupun Majelis MK mengubah Pasal 81 UU PPHI ini setidaknya proses beban pembuktian itu dilakukan pemberi kerja/pengusaha, bukan pekerja yang dipaksa mendalilkan gugatannya karena ketiadaaan bukti-bukti dokumen.”

Persoalan ini, kata Timboel, dapat juga dijadikan moment merevisi keberadaan UU PPHI yang saat ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Pasal 81 UU PPHI ini semangatnya dikembalikan ke izin PHK ke pemerintah sesuai dengan konteks UU Ketenagakerjaan,” katanya.

“Yang pasti kami mendorong supaya petitum pemohon menyangkut Pasal 81 UU PPHI ini dapat dikabulkan agar pemberi kerja proaktif dalam proses beban pembuktian melalui izin ke pemerintah (Disnakertrans) untuk mem-PHK pekerjanya. Jadi, semangatnya pemerintah tidak boleh lepas tangan,” harapnya.

Sebelumnya, sembilan buruh/pekerja di wilayah Karawang dan Bogor diantaranya Abda Khair Mufti, Agus Humaedi Abdilah, Muhammad Hafidz, Chairul Eillen Kurniawanmempersoalkan Pasal 81 UU PPHI terkait model penyelesaian hubungan industrial (termasuk perselisihan PHK) berdasarkan gugatan (contentiosa) antara buruh dan pengusaha di PHI.

Mereka menilai model penyelesaian dengan gugatan ini mengakibatkan buruh sulit mendapatkan hak-haknya (pesangon). Faktanya, apabila pengusaha tidak menggugat PHK ke PHI, buruh akan kehilangan jaminan perlindungan dan kepastian hubungan kerjanya. Alhasil, buruh seolah “dipaksa” menggugat dengan bukti-bukti seadanya. Akibatnya, gugatan buruh seringkali ditolak PHI karena minimnya bukti-bukti yang dimiliki buruh.

Berbeda dengan pengusaha lebih menguasai bukti-bukti, semisal salinan perjanjian kerja, slip pembayaran upah, kartu tanda karyawan, atau surat PHK. Karenanya, para pemohon meminta agar Pasal 81 UU PPHI dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Gugatan perselisihan hubungan industrial, dikecualikan perselisihan PHK harus dengan ‘permohonan’ diajukan ke PHI pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat buruh bekerja”.
Tags:

Berita Terkait