KTKLN Dinilai Tak Relevan Bagi TKI ABK
Berita

KTKLN Dinilai Tak Relevan Bagi TKI ABK

Pengujian Pasal 28 UU PPTKLN disebabkan belum ada peraturan menteri yang mengatur KTKLN khusus bagi pelaut atau ABK.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
KTKLN Dinilai Tak Relevan Bagi TKI ABK
Hukumonline
Kartu Tanda Kerja Luar Negeri (KTKLN) yang juga wajib dimiliki Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang yang bertugas sebagai Anak Buah Kapal (ABK) dinilai sudah tidak relevan digunakan sebagai kartu identitas TKI ABK saat bekerja melaut. Sebab, telah terdapat buku identitas pelaut yang diakui secara internasional (ILO) untuk mendapatkan perlindungan yakni The Seafarers Identity Documents (SID).

Pandangan ini disampaikan sejumlah ahli yang dihadirkan pemohon dalam sidang pleno lanjutan pengujian Pasal 26 ayat 2 huruf f dan Pasal 28 UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKLN). Uji materi diajukan oleh 29 TKI sektor perikanan atau Anak Buah Kapal (ABK).

Poempida Hidayatulloh, misalnya, menilai KTKLN tidak menjamin perlindungan bagi TKI di luar negeri. Faktanya, KTKLN tidak diakui sebagai identitas TKI di negara tujuan bekerja. Kalaupun KTKLN diakui, identitas tersebut hanya berlaku bagi TKI yang tempat kerjanya menetap. Sementara TKI ABK yang melaut pasti berpindah-pindah, sehingga KTKLN dianggap hanya melindungi TKI yang bekerja di darat.

“Tidak diakuinya KTKLN khususnya di negara tujuan TKI ABK, berakibat rentan dieksploitasi saat bekerja. Para TKI ini juga tidak mendapatkan makan yang layak dan istirahat yang cukup,” ujar Poempida dalam persidangan yang diketuai Arief Hidayat di ruang sidang MK, Rabu (08/4).

Dia melanjutkan kalaupun TKI ABK mengantongi KTKLN, mereka tidak memiliki akses perlindungan (hukum) terutama ketika TKI ABK yang dipekerjakan pada kapal yang melakukan illegal fishing. Bahkan, peluang mereka melaut bertahun-tahun tanpa izin pulang cukup besar.

Menurut Poempida, tidak diakuinya KTKLN di luar negeri khususnya sektor perikanan sebenarnya bisa terjawab dengan adanya Konvensi International Labour Organization (ILO) No. 108 Tahun 1961 tentang The Seafarers Identity Documen. Konvensi ini lalu diubah dalam Konvensi ILO No. 185 Tahun 2005 yang kemudian diratifikasi Indonesia melalui UU No. 1 Tahun 2008 tentang Konvensi Perubahan Dokumen Identitas Pelaut 1958.

Wakil Ketua Tim Pengawas (Timwas) TKI DPR periode 2009-2014 ini menjelaskan pelaut dapat menggunakannya pelabuhan manapun. Sebab pemilik SID memiliki hak mendarat. Lalu pelabuhan tempat mendarat tidak memiliki alasan menolak permintaan izin turun ke darat untuk keperluan kesehatan, keselamatan atau keamanan.

Atas dasar itu, dia mengusulkan agar pemerintah mewajibkan TKI ABK memiliki SID sebagai identitas khusus saat bekerja di luar negeri. Sebab, SID sangat cocok digunakan untuk pelaut yang dihadapkan pada resiko tinggi baik mobilitas, ancaman keamanan, dan keselamatan pelaut. “Seharusnya SID bisa dikeluarkan pemerintah sebagai lex specialist terhadap identitas pelaut yang bekerja di kapal asing,” harapnya.

Sebaliknya, KTKLN tidak relevan digunakan sebagai identitas pelaut di sektor perairan lepas. Karenanya, penggunaan KTKLN untuk semua TKI yang bekerja di luar negeri termasuk TKI ABK yang bekerja di sektor perairan tidak tepat karena belum melindungi pelaut sesuai standar internasional.

Dia menambahkan semangat pasal yang diuji sebenarnya berbasis pada pendataan TKI yang bekerja di luar negeri pada semua sektor. Sebab, melalui pendataan yang baik, pemerintah bisa memberikan perlindungan pada TKI secara optimal.

Senada dengan Poempida, Kapten Pelaut Rudy Agus Kumesan mengatakan mengacu UU No. 1 Tahun 2008, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan pernah menerbitkan SE Nomor PK 302/1/3/DJPL 2013. Surat tersebut berisi ketentuan tidak menyebutkan kewajiban mengantongi KTKLN bagi TKI ABK. “Kewajiban KTKLN dalam UU PPTKILN bertolak belakang dengan UU No. 1 Tahun 2008. Ini menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para TKI ABK,” ujar Rudi dalam persidangan.

Menurut Rudy, kebijakan yang berbeda ini membuat TKI ABK bingung soal kementerian mana yang mengatur kebijakan perlindungan TKI ABK. Persoalannya, pihak imigrasi pun tidak akan mengizinkan TKI keluar negeri tanpa mengantongi KTKLN. Sementara KTKLN tidak bisa menjamin keberadaan TKI ABK yang profesinya menuntut perpindahan dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya.

Terkait hal ini, salah satu kuasa hukum pemerintah Umar Kasim tetap menilai pengujian undang-undang sebenarnya bukan persoalan konstitusionalitas, lebih karena kasus penerapan norma yang menimbulkan persoalan di lapangan. Hanya saja, kata dia, Pasal 28 UU PPTKILN belum ada peraturan menteri yang mengatur KTKLN khusus bagi pelaut atau ABK.

Sebelumnya, 29 TKI sektor perikanan alias Anak Buah Kapal (ABK) diantaranya Imam Safi’i, Bambang Suherman, Ade Irawan, Agus Supriyanto, Mustain, Hamdani, mempersoalkan dualisme pengurusan TKI di sektor perikanan, terkait kewajiban mengantongi Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN). Pasalnya, terdapat perbedaan persyaratan penerbitan KTKLN yang ditetapkan sejumlah instansi seperti Kemenakertrans, Kemenhub, dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).

Para pemohon menganggap dualisme pengurusan menimbulkan perselisihan antara ABK dan PPTKIS terkait minimnya jaminan perlindungan TKI karena saling lempar tanggung jawab antara Kemenakertans, BNP2TKI, dan Kemenhub. Sayangnya, Pasal 28 UU PPTKKLN tidak mengatur kementerian mana yang bertanggung jawab memberi perlindungan terutama akibat hubungan kerja para pemohon dengan PPTKIS.

Para pemohon meminta MK meminta agar Pasal 28 UU PPTKLN beserta penjelasannya dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai kata “Menteri” adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Selain itu, Pasal 26 ayat 2 huruf f UU PPTKLN serta penjelasannya bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “TKI yang ditempatkan tidak wajib memiliki KTKLN.”
Tags: