Ini Masukan Asbanda untuk RUU Perbankan
Berita

Ini Masukan Asbanda untuk RUU Perbankan

Selain mempertegas definisi, BPD juga diharapkan masuk menjadi salah satu jenis bank yang diakui UU. Asbanda juga berharap RUU juga mengatur mengenai persyaratan kepemilikan modal serta mempertegas kewenangan BI dan OJK.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Foto: www.asbanda.com
Foto: www.asbanda.com
Komisi XI DPR tengah menyusun RUU tentang Perubahan Kedua UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Kali ini, Komisi XI mengundang Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) untuk memberikan masukan ke RUU. Ketua Umum Asbanda Eko Budiwiyono menjelaskan sejumlah substansi yang diharapkan dapat masuk ke dalam RUU.

Pertama, berkaitan dengan ketegasan mengenai keberadaan Bank Pembangunan Daerah (BPD). Ketegasan ini dimulai dari adanya definisi yang jelas mengenai BPD, hingga pengakuan BPD sebagai salah satu jenis perbankan yang diakui UU. Sehingga, terdapat tiga jenis bank yakni bank umum, BPD dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).

“Selama ini hanya ada dua jenis bank, yaitu bank umum dan BPR,” kata Eko dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR di Komplek Parlemen di Jakarta, Senin (13/4).

Ia percaya, pengakuan dan penegasan BPD tersebut dapat mendorong keberadaan BPD untuk menjadi agen pembangunan di masing-masing daerah. “Mohon kiranya bisa akomodasikan aspirasi kami untuk jadi bank yang betul-betul memiliki definisi yang jelas dalam UU yang baru nanti,” katanya.

Di Indonesia, lanjut Eko, terdapat 26 BPD. Hal ini dikarenakan ada sejumlah provinsi yang menggabungkan BPD menjadi satu. Dari sisi aset, total aset BPD secara keseluruhan atau konsolidasi berada di urutan keempat aset bank-bank terbesar di Indonesia, yakni sebesar Rp451 triliun. Urutan pertama adalah Bank Rakyat Indonesia sebesar Rp778 triliun, kedua Bank Mandiri Rp775 triliun dan ketiga Bank Central Asia (BCA) sebesar Rp541 triliun.

Substansi lain yang diharapkan oleh Asbanda untuk dapat masuk ke dalam RUU Perbankan adalah mengenai permodalan. Menurutnya, dalam RUU perlu diatur secara tegas mengenai batas minimum permodalan BPD. Sayangnya, Eko tak menjelaskan secara tegas berapa batas minimum BPD yang bisa dimasukkan ke dalam RUU.

Mengenai hal ini, lanjut Eko, terlihat dari banyaknya BPD yang belum memiliki modal sesuai yang diharapkan Asbanda. Ia mengatakan, pada tahun 2014 lalu, Asbanda berharap BPD menjadi regional champion dengan memiliki modal minimal Rp1 triliun. Tapi masih banyak BPD yang belum memenuhi hal tersebut. Atas dasar itu, keinginan ini bisa diakomodir dalam substansi RUU.

“Ada aturan UU persyaratkan Pemda jika ingin masih punya BPD, mau alokasikan anggarannya untuk perkuat BPD. Supaya Pemda bisa akomodasikan kewajiban mereka untuk penuhi permodalan tersebut sebaik-baiknya,” tuturnya.

Menurutnya, dengan modal yang besar tersebut juga sekaligus membuat BPD bisa bersaing dalam menyambut masuknya era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Ia percaya Indonesia akan menjadi tempat yang banyak diburu perbankan asing, lantaran marketnya yang menggiurkan. Atas dasar itu, pengutan permodalan menjadi jalan keluar bagi BPD dalam menyambut MEA.

Eko juga berharap, dalam RUU diatur mengenai ketegasan kewenangan dan fungsi Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hal ini bertujuan agar perbankan tidak bingung lantaran kedua lembaga tersebut masih menjadi pengawas bagi industri perbankan. Mengenai makroprudensial dan mikroprudensial juga perlu diatur dalam RUU sebagai bentuk ketegasan otoritas mana yang memiliki kewenangan.

“Misal Lakupandai OJK semua bank bisa dan branchless banking BI hanya boleh bank BUKU 4. Padahal requirement berbeda, ini perlu ditegaskan,” kata Eko.

Wakil Ketua Komisi XI Jon Erizal menilai, pencantuman BPD sebagai jenis bank yang baru akan sia-sia apabila tidak memiliki kekhususan segmen. Untuk dua jenis bank yang selama ini diakui UU, yakni bank umum dan BPR telah memiliki segmen khusus di masing-masing bidang.

“Apa kekhususan BPD ini, supaya nanti berbeda dengan dua jenis bank yang lain?” tanya politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) ini.

Ia mengusulkan, BPD bisa menjadi bank yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah untuk mengalokasikan kucuran finansial ke masing-masing daerah. Misalnya, dalam APBN ada alokasi infrastruktur ke daerah dalam bentuk pembangunan jembatan, keberadaan BPD bisa dengan melalui pengucuran finansial ke masing-masing daerah.

“BPD menjadi tangan kanan pusat dalam mengucurkan bantuan, apakah itu bisa. Sehingga memiliki hak ekslusifnya. Jika setuju, silahkan usulkan ke kami,” tutup Jon.
Tags:

Berita Terkait