Sejumlah Advokat Gugat MA ke Pengadilan
Utama

Sejumlah Advokat Gugat MA ke Pengadilan

SEMA tentang Peninjauan Kembali dianggap tak sesuai putusan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung dianggap melakukan perbuatan melawan hukum.

Oleh:
FITRI N. HERIANI/M-23
Bacaan 2 Menit
Gedung PN Jakpus. Foto: Sgp
Gedung PN Jakpus. Foto: Sgp
Bolehkah Mahkamah Agung (MA) sebagai institusi pelaku kekuasaan kehakiman digugat ke pengadilan? Pertanyaan itu kini membutuhkan jawaban pasti setelah sejumlah advokat melayangkan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) terhadap MA. Miftahur Rokhman Habibi, Marselinus Abi, dan Edy M. Lubis – ketiga advokat dimaksud—telah mendaftarkan gugatan itu ke PN Jakarta Pusat.

Menurut Dedi Junaedi Syamsudin, pengacara ketiga penggugat, sidang sudah berlangsung empat kali. Sidang keempat berlangsung Senin (13/4) lalu. Dalam sidang terdahulu majelis hakim meminta penggugat dan tergugat melakukan mediasi, tapi kesepakatan tak tercapai. “Kami gugat MA sebagai institusi,” jelas Dedi kepada hukumonline melalui sambungan telepon, Rabu (15/4).

Pangkal gugatan ketiga advokat adalah Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana (SEMA PK). Dijelaskan Dedi, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memutuskan bahwa Pasal 286 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan konstitusi. Dengan kata lain, pencari keadilan boleh mengajukan PK lebih dari satu kali sepanjang ditemukan bukti baru (novum).

Seolah tak mematuhi putusan MK, SEMA No. 7 Tahun 2014 justru menentukan bahwa permohonan PK dalam perkara pidana dibatasi hanya satu kali. SEMA itu menimbulkan ketidakpastian hukum, khususnya bagi klien ketiga penggugat. Menurut Dedi, seharusnya MA tunduk dan patuh pada putusan MK.

Para penggugat menuduh MA melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak menjalankan putusan MK. Putusan MK bersifat final dan mengikat. Karena itu, dalam petitum, para penggugat meminta hakim membatalkan dan menyatakan  tidak sah SEMA No. 7 Tahun 2014. Jika dibatalkan, MA diminta mengirimkan surat pembatalan ke seluruh pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding di seluruh Indonesia. Tak hanya itu, penggugat meminta hakim menyatakan putusan MK lebih tinggi kedudukannya daripada SEMA.

Dalam persidangan keempat dengan agenda pembacaan pokok perkara, sidang berlangsung sangat singkat. Majelis menyatakan pokok perkara dianggap dibacakan. “Jadi pokok perkara sudah dianggap dibacakan, ya,” kata Ketua Majelis Jamal Samosir.

Usai persidangan, kuasa hukum MA Liliek Prisbawono Adi tak banyak berkomentar. Terkait mediasi, ia mengungkapkan bahwa forumnya kurang tepat. “Memang forumnya nggak tepat, nanti di jawaban saja. Mediasi biasa aja. Ya terkait putusan MK, mereka (para penggugat) menganggap putusan MA bertentangan dengan putusan MK. Nanti pas di jawaban saja,” pungkasnya.

PMH, bukan HUM
Jika yang dipersoalkan substansi SEMA, mengapa tak mengajukan hak uji materi (HUM) ke Mahkamah Agung? Terhadap pertanyaan ini, Dedi mengatakan pada dasarnya yang dipersoalkan adalah perbuatan melawan hukum oleh tergugat (Mahkamah Agung). Perbuatan melawan hukum itu terjadi karena MA menerbitkan SEMA No. 7 Tahun 2014 yang substansinya dinilai penggugat tak sejalan dengan putusan MK.

“Sebenarnya dasar kami menggugat (karena) MA telah melakukan perbuatan melawan hukum, terkait membatasi PK perkara pidana hanya boleh satu kali,” kata Dedi.

Argumentasi tentang forum penyelesaian itu pula yang dipakai MA. “Forumnya nggak tepat,” kata kuasa hukum MA, Lilik Prisbawono Adi.
Tags:

Berita Terkait