Lindungi TKI, Kebijakan Hukuman Mati Harus Dievaluasi
Berita

Lindungi TKI, Kebijakan Hukuman Mati Harus Dievaluasi

Sulit meminta WNI tak dieksekusi mati di luar negeri jika di dalam negeri hukuman mati diakui dan dijalankan.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah. Foto: Sgp
Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah. Foto: Sgp
Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari Migrant Care, KontraS, Institut Kapal Perempuan, Imparsial, KWI, Koalisi Perempuan, Jaringan Gusdurian dan Change.org menuntut pemerintah mengevaluasi kebijakan hukuman mati. Kebijakan itu dinilai melemahkan perlindungan WNI di luar negeri, terutama buruh migran.

Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, mengatakan eksekusi Siti Zaenab oleh pemerintah Arab Saudi pada Selasa (14/4) merupakan dampak dari penerapan kebijakan hukuman mati di Indonesia. Dengan kebijakan itu upaya pemerintah Indonesia membebaskan Siti Zaenab dari eksekusi mati jadi lemah.

"Poin penting yang patut dicermati dari kasus ini yakni hukuman mati harus dihapus karena hak untuk hidup sangat fundamental dalam kehidupan kita. Hukuman mati itu tradisi penegakan hukum barbar," kata Anis dalam jumpa pers di kantor Migrant Care di Jakarta, Kamis (16/4).

Anis menjelaskan kasus Siti Zaenab bergulir sejak 1999. Sejak awal pula Migrant Care mengadvokasi kasus tersebut. Sayangnya, selama 16 tahun kasus itu berjalan, pemerintah tidak serius untuk menanganinya. Alhasil, sejak masa pemerintahan yang dipimpin Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sampai Joko Widodo (Jokowi), tidak mampu berbuat banyak untuk menyelamatkan Siti Zaenab. Ia mencatat diplomasi tertinggi yang pernah dilakukan pemerintah semasa Presiden Gus Dur. Saat itu Gus Dur menelepon langsung Raja Arab Saudi untuk menunda eksekusi mati Siti Zaenab.

Anis menegaskan, Siti Zaenab tidak seharusnya dihukum mati karena dia terjebak dalam situasi perbudakan di Arab Saudi. Dia kerap disiksa majikan. Karena tak tahan dengan perlakuan tersebut dan sebagai bentuk membela diri Siti membunuh majikan perempuannya. "Pemerintah mengklaim selama ini telah maksimal membela Siti Zaenab. Jika upaya pemerintah maksimal, seharusnya Siti Zaenab tidak dieksekusi mati," ujarnya.

Anis mendesak agar pemerintah serius melindungi buruh migran Indonesia di luar negeri, terutama yang terancam hukuman mati yang jumlahnya sekitar 279 kasus. Bahkan periode 2013-2015 Migrant Care mencatat ada 92 kasus baru yang mengancam buruh migran Indonesia dengan hukuman mati. Kasus-kasus baru itu menunjukkan pemerintah tidak serius melakukan upaya mencegah agar buruh migran Indonesia tidak terkena sanksi hukuman mati. Hukuman mati banyak mengancam buruh migran Indonesia yang bekerja di Arab Saudi dan Malaysia.

Keseriusan pemerintah dalam menyelamatkan buruh migran dari ancaman hukuman mati itu bisa dilakukan lewat diplomasi tingkat tinggi yang dipimpin langsung Presiden Jokowi. Menurut Anis, pimpinan negara harus mengambil sikap tegas membela warga negaranya seperti Perdana Menteri Australia, Tony Abott dan Presiden Brazil, Dilma Rousseff yang bersikap tegas membela warga negaranya yang terancam hukuman mati.

Dalam melakukan diplomasi tingkat tinggi, dikatakan Anis, pemerintah harus terlebih dulu melakukan konsolidasi data karena data tentang buruh migran Indonesia yang terjerat hukum di luar negeri berbeda-beda. Menurutnya, BNP2TKI dan Kemenaker perlu melakukan konsolidasi data tersebut sehingga advokasi yang dilakukan pemerintah tidak ada yang terlewat.

Selain itu, Anis mendesak pemerintah dan DPR segera merevisi UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (PPTKLN) dan mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). RUU itu perlu selaras dengan konvensi PBB (1990) tentang perlindungan buruh migran dan keluarganya.

Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri, mengatakan pemerintah sudah berupaya maksimal menyelamatkan buruh migran Indonesia dari eksekusi hukuman mati, temasuk Siti Zaenab. Pemerintah melakukan pendampingan secara hukum dan diplomasi. Bahkan upaya informal pun sudah dilakukan seperti melakukan pendekatan kepada keluarga dan ahli waris serta tokoh masyarakat.

“Saya ingin katakan bahwa dalam kasus Zaenab ini negara benar-benar hadir untuk melindungi TKI yang bermasalah di luar negeri terutama yang menghadapi ancaman hukuman mati. Karena ahli waris ini tidak memberikan pemaafan dan juga eksekusinya dijalankan,” kata Hanif di Jakarta, Rabu (15/4).

Hanif mengatakan karena kasus yang menimpa Siti Zaenab terjadi sejak lama maka asuransi yang menjaminnya sudah habis. Walau begitu Kemenaker akan memanggil PPTKIS/PJTKI yang menempatkan Siti Zaenab ke Arab Saudi agar memberi santunan. Kemenaker pun juga akan menyiapkan santunan kepada keluarga Siti Zaenab.

Hanif menjelaskan pemerintah berupaya menyelamatkan buruh migran yang terjerat hukuman mati. Ia mencatat ada dua kasus di Arab Saudi yang mengancam buruh migran Indonesia dengan hukuman mati yakni terhadap Karni bin Medi Tarsim (asal Brebes, Jawa Tengah) dan Tuti Tursilawati binti Marzuki (asal Majalengka, Jawa Barat). Sampai sekarang pemerintah terus melakukan upaya hukum dan diplomasi serta pendekatan informal.

Tak ketinggalan Hanif menegaskan, pemerintah melayangkan protes keras kepada Arab Saudi karena tidak ada notifikasi yang diberikan Arab Saudi kepada perwakilan Indonesia. Padahal, sebelum pelaksanaan hukuman mati, notifikasi itu perlu disampaikan segera.

“Ada kasus-kasus yang diberi tahukan ada juga yang tidak, kasus Ruyati juga late notification juga, jadi pemberitahuannya sesudah kejadian. Kita juga mendesak kepada pemerintah Arab Saudi dan memprotes keras agar ketika melakukan eksekusi semacam itu pemerintah Indonesia dan juga keluarganya harus diberitahu terlebih dahulu, ini sebagai etika hubungan diplomatik,“ kata Hanif.

Hanif juga mengingatkan moratorium penempatan buruh migran Indonesia sektor domestik ke berbagai negara di Timur Tengah sampai saat ini masih berlaku.
Tags:

Berita Terkait