Agar Bisa Penetrasi ke Asia, Firma Hukum Indonesia Harus “Bersatu”
Berita

Agar Bisa Penetrasi ke Asia, Firma Hukum Indonesia Harus “Bersatu”

Wacana merger sesama firma hukum mengemuka dalam diskusi Tea Talk With Lawyers.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Sejumlah partners dan lawyers dari firma hukum ternama di Indonesia usai berdiskusi di Hukumonline, Jakarta, Jumat (10/4). Foto: Project HOL
Sejumlah partners dan lawyers dari firma hukum ternama di Indonesia usai berdiskusi di Hukumonline, Jakarta, Jumat (10/4). Foto: Project HOL

Ketua Umum Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) Indra Safitri mengatakan firma-firma hukum di Indonesia perlu memikirkan untuk melakukan ‘merger’ satu dengan lainnya agar bisa berekspansi ke pasar Asia.

“Kita berharap ada law firm Indonesia yang melakukan penetrasi ke Asia. Kita berharap ada law firm Indonesia yang besar di Asia,” ujarnya dalam serial diskusi Tea Talk With Lawyers di Hukumonline, Jakarta, Jumat (10/4).

Indra mengatakan bahwa law firm Indonesia menyambut globalisasi harus menjadi tema nasional. Nah, salah satu upaya menembus pasar internasional itu, maka Indonesia perlu memiliki sebuah law firm yang kuat dengan jumlah lawyer lebih dari 200-an orang. Ini bisa dilakukan dengan cara merger antara law firm-law firm besar di Indonesia.

“Kita sudah kalah dengan Singapura dari segi jumlah lawyer dalam firma hukum. Ada yang sudah memiliki 200 lawyer dalam satu kantor,” ujarnya. 

Lebih lanjut, Indra menuturkan bahwa tema merger di antara firma hukum di Indonesia memang isu yang cukup sensitif. Oleh karena itu, ia menjelaskan HKPHM – bersama dengan Hukumonline – menggelar diskusi dengan tema “Merger Antar Law Firm di Indonesia, Mungkinkah?” untuk mulai membahas isu tersebut.

Indra memaparkan bahwa setidaknya ada beberapa hambatan dalam merger antar firma hukum ini. Pertama, di Indonesia, belum ada aturan hukum yang mengatur merger di antara firma. Bila mengacu ke hukum Indonesia, firma bukan termasuk badan hukum sehingga dinilai bisa menyulitkan dalam melakukan proses merger. 

Kedua, faktor budaya. Indra mengatakan kebanyakan law firm Indonesia lebih condong ke faktor individual, sehingga kepemilikannya sulit untuk lebih terbuka.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait