Lawfirm Kena Imbas Kewajiban Penggunaan Rupiah
Utama

Lawfirm Kena Imbas Kewajiban Penggunaan Rupiah

Lawfirm bisa menggunakan perhitungan dolar AS charge kepada klien, tapi pembayaran ke lawyer menggunakan rupiah dengan konversi kurs tertentu.

Oleh:
FATHAN QARIB/A.RAZAK ASRI
Bacaan 2 Menit
Uang kertas Rupiah. Foto: INU
Uang kertas Rupiah. Foto: INU
Kewajiban penggunaan rupiah yang diamanatkan UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, dan dijabarkan lagi dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah, tak hanya berdampak pada dunia perbankan dan bisnis, tetapi juga pada jasa hukum di kantor-kantor pengacara.

Selama ini, tidak sedikit firma hukum (lawfirm) menerapkan pembayaran transaksi dari klien atau sekadar menggaji karyawannya dengan menggunakan mata uang asing, seperti dolar Amerika Serikat (AS). Partner sekaligus pendiri kantor hukum AKSET, Mohamad Kadri mengatakan, idealnya sebuah lawfirm tergantung dari pendapatan atau revenue yang diperoleh.

Pendapatan ini juga tergantung dari klien. Jika revenue yang diterima lawfirm berupa dolar AS, maka gaji lawyer pun bisa berupa dolar AS. Tapi, jika persentase jumlah klien lebih banyak dari lokal, maka gaji lawyernya bisa dipertimbangkan dalam bentuk rupiah.

"Berapa persentasenya jumlah klien lokal dalam firm tersebut, jika dominan, maka gaji lawyer harus dipertimbangkan jadi rupiah," kata Kadri kepada hukumonline, Jumat (17/4).

Peraturan BI tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah membuat lawfirm berpikir ulang untuk membayar pengacaranya menggunakan mata uang asing. Salah satunya dengan mempertimbangkan penggunaan perhitungan dolar AS charge kepada klien tapi pembayaran kepada pengacara menggunakan rupiah dengan konversi kurs tertentu. "Masih dalam penjajakan dan lihat market," tutur Kadri.

Walau begitu, lanjut Kadri, masih terdapat persoalan yang harus dihadapi lawfirm. Misalnya dalam pembayaran sewa gedung. Menurutnya, banyak gedung di Jakarta yang pembayaran sewanya menggunakan mata uang asing, khususnya dolar AS. Hal ini merupakan desakan utang pengelola gedung dari bank yang juga dalam bentuk mata uang asing.

Terpisah, anggota Komisi XI DPR M. Misbakhun menilai, amanat UU Mata Uang dan PBI yang baru terbit itu jelas mewajibkan penggunaan rupiah dalam setiap transaksi baik tunai maupun non tunai. Atas dasar itu, seluruh transaksi yang dilakukan kantor hukum wajib menaati aturan tersebut.

"Untuk itu, lawfirm yang menggunakan mata uang asing dalam menentukan rate konsultasi mereka sudah seharusnya menggunakan mata uang rupiah juga," kata Misbakhun.

Sebelumnya, Pelaksana Tugas Kepala Departemen Pengelolaan Uang BI, Eko Yulianto menjelaskan, latar belakang keluarnya PBI adalah untuk memastikan penggunaan rupiah dalam setiap transaksi yang terjadi di Indonesia. Bank Indonesia menengarai hingga kini masih banyak transaksi yang dilakukan dalam mata uang asing. Akibatnya, rupiah kian tertekan.

Pasal 2 PBI mengatur transaksi yang harus menggunakan rupiah adalah transaksi yang tujuannya untuk pembayaran, penyelesaian kewajiban lain yang harus dipenuhi dengan uang, atau transaksi keuangan lainnya. Semua itu diperjelas secara eksplisit bahwa setiap transaksi yang harus menggunakan rupiah adalah dalam bentuk tunai maupun non-tunai. Hanya saja, PBI masih memberikan kelonggaran berupa pengecualian.

Pasal 4 menyebut, pengecualian penggunaan rupiah bisa dilakukan terhadap transaksi tertentu yang menjadi pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara. Selain itu, penerimaan atau pemberian hibah dari dan ke luar negeri atau transaksi pembiayaan internasional untuk kegiatan yang salah satu pihaknya berkedudukan di luar negeri juga boleh menggunakan mata uang asing.

Simpanan di bank dalam bentuk valuta asing pun masih diperbolehkan. Transaksi dalam bentuk valuta asing juga masih diperbolehkan. Hanya saja, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 transaksi itu terbatas untuk kegiatan-kegiatan yang ditentukan oleh undang-undang. Transaksi terbatas itu antara lain untuk kegiatan usaha dalam valuta asing yang dilakukan oleh bank.

Transaksi lainnya adalah transaksi surat berharga yang diterbitkan oleh pemerintah dalam bentuk valuta asing di pasar perdana dan pasar sekunder. Sementara itu, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara yang boleh menggunakan valuta asing berlaku untuk kegiatan yang tercantum dalam Pasal 6 PBI.

Kegiatan itu adalah pembayaran utang luar negeri dan utang dalam negeri yang menggunakan valuta asing. Belanja barang dan modal dari luar negeri pun boleh tidak menggunakan rupiah. Selain itu, ada pula pengecualian untuk penerimaan negara yang berasal dari penjualan surat utang negara dalam valuta asing.

Bagi yang melanggar, ada sanksi yang mengancam pelaku, yaitu pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp200 juta. PBI ini berlaku sejak 1 April 2015.
Tags:

Berita Terkait