Ironi Asyani dan Revolusi Mental Pendekatan Konflik
Kolom

Ironi Asyani dan Revolusi Mental Pendekatan Konflik

Tak bisa dipungkiri selain penindakan atas regulasi yang dikeluarkan masih sangat lemah, pola pendekatan konflik di dalam masyarakat pun harus diubah. Dari yang bersifat pembalasan, menjadi pemulihan, dari Restitutif menjadi Restoratif.

Bacaan 2 Menit
Jecky Tengens. Foto: Koleksi Pribadi
Jecky Tengens. Foto: Koleksi Pribadi

Hukum kembali beringas kepada si miskin, pedang hukum itu kembali dihujam dengan tajam ke arah Nenek Asyani yang didakwa mencuri 7 batang kayu hutan milik Perhutani. Seorang nenek renta yang mungkin tidak tahu apa yang dilakukannya ternyata menurut teori fiksi hukum (rechfictie)- semua orang dianggap tahu hukum”, telah melanggar UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, sang nenek itu pun harus meringkuk di dalam jeruji besi sampai akhirnya setelah bersimpuh dan menangis di depan persidangan barulah hakim menangguhkan penahanan sang nenek.

Adapula kisah kakek Harso yang harus menjalani persidangan atas tuduhan merusak hutan di Paliyan. Kasus ini seakan mengulang kisah-kisah lama elegi penegakan hukum yang tak bernurani bagi si miskin seperti kisah Rasmiah yang dihukum karena dituduh mencuri piring dan buntut sapi milik majikannya, nenek Minah dan kisah 2 biji kakao, sampai dengan kisah Deli, anak yang dihadapkan ke persidangan akibat tuduhan mencuri voucher hp.

Lantas apa yang menyebabkan kasus-kasus yang tergolong kecil ini sampai harus tetap diajukan di muka meja hijau? Jika merujuk pada KUHAP maka memang kewenangan penghentian perkara yang diberikan kepada penyidik berdasarkan Pasal 109 ayat (2) KUHAP hanya terbatas pada 3 alasan, yakni tidak terdapat cukup bukti, peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, ataupun dihentikan demi hukum yang dalam hal ini dimaknai sebagai perkara tersebut telah kadaluarsa (verjaring), delik aduan telah dicabut, tersangka telah meninggal dunia, gugurnya hak menuntut ataupun telah nebis in idem.

Di luar dari hal tersebut maka diskresi dari penegak hukum untuk menghentikan perkara-perkara yang tergolong ringan (petty crime) ini sangatlah terbatas, ditambah dengan pola pikir masyarakat kita yang condong punitif daripada restorative. Pendekatan konflik yang masih bersifat pembalasan (lex talionis) inilah yang akhirnya menjadi persoalan akan banyaknya perkara-perkara kecil yang marak bermunculan selama ini. Upaya mendamaikan yang mungkin dilakukan oleh penegak hukum pun berbuah dengan kecurigaan pihak lainnya akan adanya usaha main mata ataupun kongkalikong oleh penegak hukum.

Regulasi Tindak Pidana Ringan
Persoalan ini tentunya telah coba untuk diatasi oleh negara dengan mengeluarkan beberapa regulasi yang diharapkan bisa mempersempit ruang konflik terkait dengan adanya perkara-perkara yang tergolong ringan seperti dikeluarkannya Perma Nomor 2 tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Denda dalam KUHP. Perma itu intinya mengatur bahwa bagi tindak pidana tertentu seperti Pencurian, Penipuan, Penggelapan, Penadahan yang objek perkara kerugiannya tidak melebihi Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu) maka hukum acara yang dipakai ialah acara pemeriksaan cepat dengan dipimpin oleh hakim tunggal serta terhadap terdakwa tidak dilakukan penahanan.

Tindak lanjut dari Perma No. 2 Tahun 2012 ini kemudian diikuti dengan dikeluarkannya MoU bersama antara Mahkamah Agung RI, Kementerian Hukum & HAM,  Kejaksaan Agung, dan Kepolisian RI (Mahkumjakpol). Sayangnya peraturan itu bagaikan kertas kosong tak bernyawa ketika dihadapkan pada kenyataan.

Data perkara yang ditangani oleh LBH Mawar Saron, dimulai dari dikeluarkannya regulasi ini pada tahun 2012 sampai dengan 2014, terdapat 6 perkara pidana yang objek kerugiannya tidak melebihi Rp. 700.000,- (tujuh ratus ribu rupiah), sehingga berdasarkan regulasi yang ada seharusnya digolongkan sebagai tindak pidana ringan, ironisnya semua perkara berakhir dengan pemidanaan penjara, bahkan pengajuan atas Perma No. 2 Tahun 2012 ini ditolak sendiri oleh institusi pengadilan yang nota bene adalah pihak yang mengeluarkan kebijakan itu sendiri! Sungguh ironi sekali jika memang regulasi yang memiliki tujuan baik ini malah seperti tidak memiliki kekuatan eksekusi bahkan di area yudikatif itu sendiri.

Halaman Selanjutnya:
Tags: