FDHI, Wadah Para Hakim Salurkan Pemikiran Positif
Berita

FDHI, Wadah Para Hakim Salurkan Pemikiran Positif

Meski wadahnya berbeda, posisi FDHI tidak berseberangan dengan IKAHI.

Oleh:
YOZ/M-22
Bacaan 2 Menit
Koordinator FDHI, Djoe Hadisasmito. Foto: YOZ
Koordinator FDHI, Djoe Hadisasmito. Foto: YOZ
Banyak cara untuk menyalurkan pemikiran yang positif di bidang hukum, salah satunya dengan membuat forum diskusi. Forum diskusi bisa dilakukan kapanpun dan dimanapun, tak terkecuali di dunia maya. Hal ini seperti yang dilakukan para hakim yang tergabung dalam Forum Diskusi Hakim Indonesia (FDHI).

Topik-topik yang dibahas FDHI pada umumnya mengenai pemikiran-pemikiran positif bagi profesi hakim dan berujung pada pembaharuan institusi, dalam hal ini Mahkamah Agung maupun Badan Peradilan pada umumnya. Tapi perlu dicatat, Forum diskusi ini tidak bersifat formal, artinya hakim yang aktif sebagai anggota Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) juga bisa menyumbangkan pemikiran melalui forum ini.

FDHI tidak lepas dari forum yang sebelumnya sudah ada, yakni Forum Komunikasi Hakim Progresif Indonesia (FK-HPI). Diskusi yang dibahas tidak lepas dari keresahan hakim-hakim setelah keluarnya UU No.49 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No.50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama dan UU No.51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, di mana salah satunya menegaskan kembali mengenai status hakim sebagai pejabat negara. Sebelumnya, sudah ada berbagai peraturan perundang-undangan yang menempatkan hakim sebagai pejabat negara.

Namun sekitar tiga tahun berlalu, pada 2012, kondisi justru berbalik antara apa yang sudah ditegaskan UU dengan realitas kondisi hakim. Bahkan saat itu, puncaknya gaji hakim justru lebih rendah daripada PNS (untuk pangkat, golongan, dan masa jabatan yang sama).

“Di situlah memicu kita semakin intensif komunikasi di dunia maya, tetapi tetap mendasarkan pada peraturan-peraturan yang ada,” kata Koordinator FDHI, Djoe Hadisasmito.

Selama ini, IKAHI menjadi sebuah wadah bekumpulnya para hakim. Namun, Djoe menjelaskan bahwa FDHI tidak bisa dihadapkan dengan IKAHI. Soalnya, IKAHI sudah berbadan hukum dan merupakan organisasi wajib para hakim. Namun, ia mengingatkan bahwa para anggota forum diskusi di FDHI banyak juga yang menjadi pengurus di IKAHI tingkat cabang.

“FDHI adalah forum diskusi yang cair, tapi karena para anggota forum itu para hakim tentunya tahu sebatas mana hal-hal yang menjadi tujuan/concern dari para hakim itu sendiri,” kata Djoe.

Dijelaskan Djoe, meski wadahnya berbeda, posisi FDHI tidak berseberangan dengan IKAHI. Justru sebaliknya, para hakim yang tergabung dalam FDHI ingin memperkuat IKAHI. Hal ini sesuai dengan salah satu amanat Musyawarah Nasional (Munas) IKAHI ke-17 di Bali pada 2013, yakni melanjutkan upaya untuk mewujudkan UU mengenai hakim sebagai pejabat negara dan contemp of court (penghinaan terhadap peradilan).    

“kita juga justru ingin akselerasi agar menjadi rekomendasi Munas IKAHI 2013 bisa terealiasi,” tuturnya.

Perbedaan FDHI dengan IKAHI lainnya, lanjut Djoe, IKAHI memiliki AD/ART yang jelas. Hal ini berbeda dengan FDHI yang tidak memiliki AD/ART, namun setiap orang bisa bergabung asalkan memiliki concern yang sama terhadap tema yang dibahas. Di samping itu, FDHI tidak memaksa para hakim yang tergabung dalam IKAHI untuk aktif berdiskusi dalam FDHI.

Djoe menilai wajar jika ada wadah-wadah lain di luar FDHI yang turut aktif dalam menyumbangkan pemikiran-pemikiran terkait profesi hakim. Ke depan, tidak menutup kemungkinan FDHI menggandeng kampus-kampus untuk memberikan sumbangsih berupa pemikiran-pemikiran yang positif.

“Kita tidak memaksa teman-teman untuk aktif ikut berdiskusi, tapi teman-teman yang punya kepedulian terhadap profesi hakim, FDHI lah salah satu wadahnya,” pungkasnya. 
Tags:

Berita Terkait