Penundaan Eksekusi Dinilai Sebagai Bentuk Penghormatan Hukum
Berita

Penundaan Eksekusi Dinilai Sebagai Bentuk Penghormatan Hukum

Indonesia harus berhati-hati, jangan sampai Mary Jane diperiksa di Filipina.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP (Ilustrasi)
Foto: SGP (Ilustrasi)
Dari sepuluh terpidana narkoba yang akan dihukum mati, baru delapan terpidana yang telah dieksekusi oleh pemerintah Indonesia. Eksekusi dua terpidana lainnya, ditunda dengan sejumlah alasan. Mereka adalah Mary Jane Fiesta Veloso (Filipina) yang ditunda lantaran adanya permintaan dari Presiden Filipina terkait adanya proses hukum di negara tersebut.

Sedangkan satu terpidana lainnya berasal dari negara Perancis yakni Serge Atlaoui. Eksekusi Sergei ditunda lantaran mengajukan upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) berkaitan Keputusan Presiden (Keppres) yang menolak grasi. Anggota Komisi III dari PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu menyambut baik penundaan eksekusi kedua terpidana tersebut.

Ia menilai, penundaan eksekusi tersebut merupakan bentuk penghormatan pemerintah terhadap proses hukum yang masih berjalan. “Pemerintah menunda Mary Jane dieksekusi, sebagai penghormatan proses hukum yang berlangsung di Filipina berkaitan dengan kasus traficking,” katanya dalam sebuah diskusi di Komplek Parlemen di Jakarta, Rabu (29/4).

Meski begitu, lanjut Masinton, eksekusi bagi Mary Jane harus tetap dilaksanakan jika proses hukum di Filipina sudah final. Hal tersebut dikarenakan tindak pidana dan proses hukum terhadap Mary Jane sudah terjadi sejak lama di Indonesia. “Jangan proses (di Filipina, red) itu membatalkan yang terjadi di Indonesia,” katanya.

Terkait proses tersebut, Masinton menyarankan agar pemerintah Indonesia melalui aparat penegak hukum wajib bersikap hati-hati apabila sewaktu-waktu Mary Jane akan dimintai keterangan oleh pihak berwajib Filipina berkaitan kasus traficking. Bila perlu, pemeriksaan terhadap Mary Jane tersebut dilakukan melalui teleconference atau aparat penegak hukum Filipina datang ke Indonesia.

Sikap hati-hati ini diperlukan agar Mary Jane tidak kabur dari tangan pemerintah Indonesia. “Dalam konteks ini, Mary Jane jangan pernah diberikan berangkat ke Filipina. Kalau aparat hukum Filipina ingin periksa Mary Jane, bisa datang ke Indonesia atau melalui teleconference,” katanya.

Hal sama diutarakan oleh Pakar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia (UI), Akhiar Salmi. Menurutnya, jika Mary Jane ingin diperiksa aparat hukum Filipina, tidak usah diberi kesempatan untuk dibawa ke Filipina. “Pemeriksaan bisa dilakukan di Kedutaan Filipina di Indonesia, tapi juga pemerintah Indonesia haru hati-hati dan mengawasi secara ketat,” katanya.

Ia mengatakan, walau kasus traficking di Filipina terbukti bahwa Mary Jane adalah korban perdagangan dan bukan pemilik barang haram itu, Indonesia masih bisa menghukum Mary Jane dengan pasal turut serta. “Bisa menggunakan pasal turut serta, yakni pakai Pasal 55 atau Pasal 56 KUHP,” katanya.

Anggota Komite I DPD Abdul Aziz Khafia mengatakan, pemerintah Indonesia wajib tegas terhadap terpidana yang telah melalui proses hukum di dalam negeri. Menurutnya, penundaan tersebut hanya bersifat sementara sampai proses hukum baik yang berkaitan dengan Serge atau Mary Jane di Filipina, berkekuatan hukum tetap.

“Indonesia harus tegas, proses hukum sudah berjalan sejak lama, tinggal laksanakan,” kata Senator dari Jakarta ini.

Ke depan, Aziz berharap, pemerintah tidak bersifat reaktif terkait kasus narkoba. Menurutnya, pemerintah Indonesia selayaknya bersifat antisipatif sehingga bisa mencegah dan mendeteksi dari awal adanya tindak pidana tersebut. “Kenapa tidak dideteksi? Orang palsukan kartu keluarga (KK) saja bisa dideteksi, apalagi ini urusan anak bangsa,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait