SEMA Tak Boleh Kesampingkan Putusan MK
Berita

SEMA Tak Boleh Kesampingkan Putusan MK

Inilah intisari replik advokat yang menggugat MA ke Pengadilan

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Gedung PN Jakpus. Foto: Sgp
Gedung PN Jakpus. Foto: Sgp
Para advokat- Miftahur Rokhman Habibi, Marselinus Abi, dan Edy M. Lubis- yang melayangkan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) terhadap Mahkamah Agung (MA) menyampaikan replik dalam persidangan yang digelar Senin, (27/4) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Pusat).

Dalam replik yang disampaikan kuasa hukum mereka, para advokat itu berpandangan bahwa MA tak bisa mengenyampingkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menerbitkan SEMA No. 07 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali (PK) atas Perkara Pidana.
“Yang diterbitkan oleh MA bukan norma hukum, maka SEMA tidak boleh mengenyampingkan putusan MK,” kata Dedi Junaedi, pengacara ketiga penggugat.

Apalagi, putusan MK bersifat final dan mengikat serta wajib dijalankan bagi seluruh lembaga baik itu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hal tersebut jelas tercantum di dalam pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Selain itu, pasal 28 D ayat (1) UUD 195 jelas menjamin kepastian hukum yang adil bagi semua orang. Keadilan dan kepastian hukum harus berjalan.
“Tidak ada kepastian hukum tanpa keadilan, dan tidak akan pernah ada keadilan tanpa kepasstian hukum dalam konteks hukum positif,” jelasnya.

Begitu juga dalam KUHAP. KUHAP bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia dari kesewenang-wenangan negara terkait dengan hak hidup dan kebebasan sebagai hak fundamental. Hak tersebut dijamin dalam konstitusi sebagaimana di dalam Pasal 281 ayat (1) UUD 1945. Sehingga, peninjuan kembali sebagai upaya hukum luar biasa yang diautur dalam KUHAP haruslah dalam kerangka untuk hukum dan keadilan.

Dedi melanjutkan, MK njuga menegaskan bahwa upaya pencapaian kepastian hukum sangat layak untuk dibatasi, namun tidak demikian dengan hal pencapaian keadilan. “Sebab keadilan adalah kebutuhan manusia yang mendasar, dan lebih mendasar dari kepastian hukum,” tuturnya.

Dalam persidangan sebelumnya, MA membantah disebut melakukan perbuatan melawan hukum dengan menerbitkan SEMA No. 07 Tahun 2014. Bantahan disampaikan oleh MA dalam jawaban sekaligus eksepsi di persidangan yang digelar pada pekan lalu.

Menurut Dedi, pihaknya menolak eksepsi tergugat pada poin dua yang menyatakan bahwa gugatan tidak jelas atau kabur serta tidak dapat menguraikan dengan jelas kerugian nyata yang dialami oleh penggugat. Sebaliknya, ia menilai bahwa PMH yang dilakukan oleh MA adalah jelas. Akibat dari PMH tersebut adalah soal kerugian immateriil dari penggugat, terutama terhadap  klien penggugat yang tengah mengajukan usaha PK. Ia merujuk pada Pasal 1356 dan Pasal 1372 ayat (2) KUH Perdata yang menjelaskan tentang ganti rugi atas PMH.

“Kerugian wanprestasi itu berbeda dengan kerugian PMH. Wanprestasi berbicara soal kerugian materiil, sementara PMH berbicara soal immateriil,” kata Dedi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Pusat).

Selain itu, Dedi juga kembali menegaskan bahwa terbitnya SEMA No. 07 Tahun 2014 adalah tindakan yang keliru. Perbuatan ini, lanjutnya, menimbulkan kegamangan hukum dan membuat pranata hukum di Indonesia menjadi tidak selaras sesuai rasa keadilan dalam negara hukum. Sehingga para penggugat dan masyarakat pencari keadilan sangat dirugikan.

Kuasa hukum MA Liliek Prisbawono Adi tidak menjawab telepon dari hukumonline. Sebelumnya, di persidangan, MA sudah menegaskan bahwa gugatan PMH dari ketiga advokat adalah salah forum.
Tags:

Berita Terkait